• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Kiai NU Menjawab

Apakah Sah jika Makmum Shalat di Serambi dan Imam Shalat di Dalam?

Apakah Sah jika Makmum Shalat di Serambi dan Imam Shalat di Dalam?
Ilustrasi
Ilustrasi

Assalamu'alaikum war .wab.

Kepada Yth. Pengasuh Rubrik Kiai NU Menjawab,

Izin bertanya kiai, ruang masjid di tempat tinggal saya terbagi 2, yakni ruang dalam dan serambi. Di ruang dalam terdapat AC sehingga pintu masjid diupayakan selalu tertutup agar AC dapat berfungsi dengan baik.  Pada hari Jumat (shalat Jumat) dan hari-hari di bulan Ramadhan (shalat tarawih), para jamaah membludak hingga  ke serambi yang letaknya terpisah dari ruang dalam masjid oleh dinding dan pintu kaca masjid. 


Yang ingin saya tanyakan, apakah shalat di serambi masjid tetap sah jika pintu ditutup karena ruangan ber AC? Hal ini perlu kami tanyakan karena para jamaah yang berada di luar/serambi masih bisa melihat jamaah yang di dalam dan mendengar suara imam.
Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu’alaikum war. wab.

Dari Hamba Allah

 

Jawab 

 

Wa'alaikumussalam war. wab.


Sebelum membahas jamaah di luar dan di dalam masjid, perlu diketahui bahwa di dalam kitab-kitab fikih salaf (kuno), kata masjid secara bahasa berarti tempat sujud, sedangkan secara istilah memiliki banyak arti, antara lain:

 

a)    Menurut Imam an Nasafi:

البيوت المبنية للصلاة

 

Artinya:“ Masjid adalah tempat yang disediakan untuk shalat dan beribadah.” (lihat Imam an-Nasafi, Tafsir An-Nasafi, juz 3, hal. 476).

 

b)    Menurut Imam al Barakati:

 

المسجد  الموضع الذي يسجد منها وبيت الصلاة، وهو اصطلاحا: الأرض التي جعلها المالك مسجدا بقوله جعلته مسجدا وأفرز طريقه وأذن بالصلاة فيه فإن صلى واحد زال ملكه

 

Artinya:“Masjid adalah tempat yang difungsikan untuk sujud dan tempat shalat, dan masjid secara istilah adalah sebidang lahan di bumi yang dijadikan oleh pemiliknya sebagai masjid dengan mengucapkan “saya jadikan tempat ini sebagai masjid”, lengkap dengan jalan yang telah disediakan dan dikumandangkan adzan di dalamnya. Ketika seseorang telah melaksanankan shalat di dalamnya maka hilanglah kepemilikan lahan”. (lihat Imam al Barakati,Qawaid Fiqhiyyah: juz 1, hal. 483).

 

c)    Menurut Imam az Zarkasyi:

 

ثم ان العرف خصص المسجد بالمكان المهيئ للصلوات الخمس حتى يخرج المصلى المجتمع فيه للأعياد ونحوها فلا يعطى حكمه، وكذلك الربط والمدارس فإنها هيئت لغير ذلك.

 

Artinya: “Berdasarkan urf kata masjid dapat diartikan sebagai tempat yang disediakan untuk shalat lima waktu, yang mengecualikan tempat pelaksanaan shalat ied, pondok dan madrasah karena tempat tersebut aslinya disediakan untuk kepentingan lain”. (lihat Imam az Zarkasyi, I’lamu As-Sajid, hal. 28).

 

Dari beberapa pengertian di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa masjid adalah tempat tertentu yang diwakafkan, yang fungsi utamanya adalah untuk melaksanakaan shalat berjamaah. Hal ini mengecualikan mushalla, pondok pesantren dan madrasah. 


Dalam bingkai sejarah, masjid yang pertama kali dibangun sebelum disyariatkannya agama Islam adalah Masjidil Haram, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:


عن أبي ذر، قال: قلت: يا رسول الله ! أي: مسجد وضع في الأرض أول؟ قال: المسجد الحرام. قال: قلت: ثم أي؟ قال: ثم مسجد الأقصى. قلت: كم بينهما؟ قال: أربعون عاماً ثم الأرض لك مسجد، فحيث ما أدركت الصلاة فصل متفق عليه.

 

Artinya: “Bahwa dari Abu Dzar radliyallahu anhu berkata;  saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang masjid yang pertama kali dibangun, lalu Rasul menjawab; Masjidil haram, kemudian saya bertanya kembali; kemudian masjid mana lagi? Rasulmenjawab; masjidilaqsa, kemudiansaya bertanya kembali; berapa jarak waktu diantara keduanya, Rasul menjawab; empat-puluh tahun”. (lihat Shahih Muslim: juz 3, hal.105).

 

Sedangkan masjid yang pertama kali dibangun pada masa disyariatkannya agama Islam adalah masjid Quba, sebagaimana dikutip oleh Syeikh az-Zarkasi sebagai berikut:

 

وقال ابن الجوزي في تلقيح فهوم أهل الأثر: أول من بنى مسجدا في الإسلام عمار بن يسار. قلت: وهو مسجد قباء. ذكره ابن الأثير

 

Artinya: “Ibnu al Jauzi berkata di dalam Fuhum Ahli al Atsar bahwa orang yang pertama membangun masjid setelah disyariatkan agama Islam adalah Ammar bin Yassar. Dan menurut saya masjid itu adalah masjid Quba. Pendapat ini disebutkan oleh Ibnu Atsir”.(lihat Syeikh az-Zarkasi, I’lamussajid, hal. 31).

 

Selanjutnya dijelaskan bahwa pelaksanaan shalat berjamaah di dalam masjid memiliki banyak fadhilah. Ibnu Abbas mengatakan sebagai berikut: 

 

المساجد بيوت الله في الأرض وهي تضيء لأهل السماء كما تضيء النجوم لأهل الأرض

 

Artinya: “Masjid adalah sumber cahaya bagi penduduk langit, seperti halnya bintang bagi penduduk bumi”. (lihat Ibnu Abbas, Tafsir Fakhrurrazi, juz 1, hal. 3344).

 

Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan sebagai berikut: 

 

فعل الجماعة للرجل في المسجد افضل من فعلها في البيت والسوق وغيرهما لما ذكرناه من الاحاديث في فضل المشي إلى المسجد ولانه أشرف ولان فيه اظهار شعار الجماعة

 

Artinya: “Jamaahnya laki-laki di dalam masjid itu lebih utama daripada dilakukan di dalam rumah, pasar dan tempat lainnya. Karena hadits-hadits yang telah kami sebutkan tentang keutamaan berjalan menuju masjid dan karena masjid adalah tempat yang lebih mulia dan karena untuk memperlihatkan syiar shalat berjamaah.” (lihat  Imam Syafi’i, Majmu’, juz 4, hal. 198).

 

Adapun syarat-syarat berjamaah ada tiga belas sebagai berikut:

 

شروط الجماعة ثلاثة عشر: أن لا يعلم المأموم بطلان صلاة امامه، وأن لا يعتقده، وأن لا يعتقد وجوب قضاءها عليه، وأن لا يكون الامام مأموما، وان لا يكون أميا، وأن لا يقتدي الذكر أو الخنثى بامرأة او خنثى، وأن لا يتقدم على إمامه في المكان في غير شدة الخوف، وأن يعلم انتقالات إمامه، وأن يجتما في مسجد أو في ثلاثمئاة ذراع تقريبا، وان ينوي المأموم الجماعة أو نحوها، وأن يتوافق نظم صلاتيهما، وأن يوافق المأموم الامام في كل سنة فاحشة المخالفة، وأن يتابعه.

 

Artinya: “Syarat-syarat jamaah itu ada tiga belas yaitu makmum tidak mengetahui batalnya shalat imam, makmum tidak berkeyakinan bahwa shalatnya imam batal, tidak berkeyakinan bahwa imam wajib mengqadha shalatnya, imam tidak berstatus menjadi makmum, imam tidak seorang yang ummi (cacat bacaannya), laki-laki dan khuntsa (yang berkelamin ganda) tidak makmum kepada perempuan atau khuntsa (yang berkelamin ganda), mengetahui gerakan imam, imam dan makmum berkumpul dalam satu masjid atau satu tempat yang jarak antara imam dan makmum kira-kira tidak melebihi 300 dzira’ (144 meter), makmum berniat jama’ah, runtutan shalatnya makmum dan imam harus sama, makmum harus mengikuti gerakan-gerakan imam yang bila tidak diikuti akan ada perbedaan yang sangat mencolok, makmum harus mengikuti imam”. (lihat Sayyid Ahmad bin Umar as Syathiri, Al-Yaqut An-Nafis. hal 38). 

 

Mengenai shalat berjamaah di mana imam berada di dalam masjid dan makmum berada di serambi tetapi pintu masjid tertutup, maka akan terjadi permasalahan berkaitan dengan jamaah, yakni imam dan makmum dianggap tidak berkumpul dalam satu tempat. 

 

Sebelum membahas sah dan tidaknya permasalahan di atas, mari kita cermati terlebih dahulu status serambi masjid menurut istilah fikih. Dalam literatur fikih, serambi masjid, menurut statusnya,  diistilahkan dengan “rhohabah” atau “harim”. Kedua istilah itu dijelaskan sebagi berikut: 

 

1. Rahabah


Menurut Syeikh Zainuddin al-Malibari, rahabah adalah:


ورحبته وهي ما خرج عنه لكن حجر لأجله سواء أعلم وقفيتها مسجد أو جهل أمرها عملا بالظاهر

 

Artinya: “Rahabah adalah tempat yang berada di luar masjid dan disediakan (hajr) untuk perluasan masjid baik diketahui perwakafannya untuk masjid ataupun tidak diketahui karena memandang dzahirnya”. (lihat Syeikh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in: 36).

 

Adapun hukum jamaah pada rahabah yang imamnya berada di dalam masjid dan pintunya tertutup hukumnya sah, selama rahabah tersebut tidak diyakini dibangun setelah pembangunan masjid dan tidak pula diyakini bukan termasuk bagian masjid. Dengan kata lain, jamaah tersebut sah karena ruang rahabah dan ruang dalam masjid dianggap satu ruangan meskipun pintu masuk ke dalam masjid tertutup.


Tekait dengan hal tersebut, Syeikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami: 

 

وَمِنْهُ يُؤْخَذُ أَنَّهُ لَا يَضُرُّ غَلْقُ تِلْكَ الْأَبْوَابِ , وَرَحْبَةُ الْمَسْجِدِ كَهُوَ فِي صِحَّةِ اقْتِدَاءِ مَنْ فِيهَا بِإِمَامِ الْمَسْجِدِ وَإِنْ بَعُدَتْ الْمَسَافَةُ وَحَالَتْ أَبْنِيَةٌ نَافِذَةٌ

 

Artinya: “Diambil dari keterangan sebelumnya bahwasanya terkuncinya pintu tidak membahayakan sahnya jamaah (jamaah antara di dalam ruangan masjid dan di luar ruangan masjid), dan hukum rahabah masjid itu hukumnya seperti masjid dalam sama-sama sahnya orang yang berjamaah di rahabah masjid sedangkan imamnya di dalam masjid, meskipun jaraknya jauh dan terhalang bangunan yang bisa untuk menuju imam”.( lihat Syeikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasiyah Al-Bujairami, juz 3, hal. 336).

 

Kemudian kriteria penghalang yang tidak mempengaruhi keabsahan jamaah di dalam ruangan masjid dan di luar ruangan masjid, Syeikh Muhammad bin Ahmad ar-Ramli mengatakan:

 

قَالَ : الْمُرَادُ نَافِذَةٌ نُفُوذًا يُمْكِنُ اسْتِطْرَاقُهُ عَادَةً


Artinya: “Imam ar Romli mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penghalang yang bisa untuk menuju imam adalah yang mungkin untuk berjalan menuju imam”.( lihat Syeikh Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz , hal.139). 

 

 قَوْلُهُ : وَلَوْ مُغْلَقَةً) أي  وَإِنْ ضَاعَ مِفْتَاحُ الْغَلْقِ لِأَنَّهُ يُمْكِنُ فَتْحُهُ بِدُونِهِ ، وَمِنْ الْغَلْقِ الْقَفْلُ فَلَا يَضُرُّز)

 

Artinya:“ (Ucapan penulis: walaupun pintunya terkunci) artinya walaupun kuncinya terbengkalai (hilang) karena masih mungkin membuka pintu dengan cara lain dan termasuk kunci adalah gembok, maka tidak membahayakan keabsahan jamaah”. (lihat Syeikh Muhammad bin Ahmad ar-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj: juz 6, hal. 139).


Sedangkan hukum berjamaah pada rahabah yang diyakini dibangun setelah pembangunan masjid, atau diyakini bahwa rahabah bukan termasuk bagian masjid adalah tidak sah apabila makmum berada di dalam rahabah dan imam berada di dalam masjid dengan pintu tertutup karena sudah tidak dianggap satu ruangan. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Syeikh Abu Bakr Syatha sebagai berikut: 

 

فمتى لم يتيقن الحدوث بعده أو لم يتيقن أنها غير مسجد فهي من المسجد  ومتى ما تيقن أحدهما فهي ليست منه

 

Artinya: “Maka ketika rahabah tidak diyakini dibangun setelah pembanguna masjid atau tidak diyakini bukan termasuk bagian masjid, maka rahabah dihukumi bagian dari masjid. Dan ketika rahabah diyakini sebaliknya, maka rahabah bukan termasuk masjid”. (lihat Syeikh Abu Bakr Syatha, I’anah At-Tahalibin, juz 2, hal. 27).

 

Hukum tidak sahnya jamaah tersebut karena tertutupnya pintu yang menjadikan jamaah tidak dianggap berada pada satu ruangan. Dan hukum ini berlaku apabila tertutupnya pintu masjid  sejak awal mulai berjamaah. Hal ini sejalan dengan keterangan dari Syeikh Zakariya al-Anshari sebagai berikut: 

 

فإن حال ما يمنع مرورا كشباك أو رؤية كباب مردود أو لم يقف أحد فيما مر لم يصح الاقتداء إذ الحيلولة بذلك تمنع الاجتماع

 

Artinya: “Apabila di dalam tempat jamaah terdapat penghalang baik menghalangi jalan menuju imam seperti jendela atau menghalangi penglihatan seperti tertutupnya pintu ataupun tidak adanya seseorang yang berdiri di sebelah pintu masuk, maka mengikuti imam (jamaah) hukumnya tidak sah, karena tidak dianggap kumpul dalam satu tempat”.(lihat Syeikh Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, juz 1, hal. 116).

 

Sedangkan apabila tertutupnya pintu masjid terjadi ditengah-tengah melaksanakan jamaah, maka hukumnya tetap sah. Hal ini sebagaimana penjelasan Syeikh Abu Bakr Syatha sebagai berikut: 

 

فلو طرأ في أثنائها وعلم بانتقالات الامام ولم يكن بفعله لم يضر.

 

Artinya: “Apabila tertutupnya pintu, terjadi di tengah-tengah melaksanakan jamaah, dan pergerakan imam masih dapat diketahui dan tertutupnya pintu bukan hal yang dilakukan oleh orang yang berjamaah, maka tidak mempengaruhi keabsahan jamaah”.( lihat Syeikh Abu Bakr Syatha, I’anah Al-Thalibin, juz 2, hal. 28).

 

2. Harim


Syeikh Zainuddin al-Malibari menjelaskan pengertian harim sebagai berikut: 

 

وهو موضع اتصل به وهيىء لمصلحته كانصباب ماء ووضع نعال

 

Artinya: “Harim adalah tempat yang sambung dengan masjid dan difungsikan untuk kemaslahatan masjid seperti membuang air dan meletakkan sandal”. (lihat Syeikh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, hal. 36).

 

Keterangan tersebut  diperjelas Syeikh Abu Bakr Syatha sebagai berikut: 

 

قوله لا حريمه) معطوف على جداره أي وليس من المسجد حريم المسجد)

 

Artinya: “(Ucapan penulis: bukan harim masjid) di-athaf-kan pada kata dinding masjid. Artinya tidak termasuk masjid adalah harimnya masjid”. (lihat Syeikh Abu Bakr Syatha, I’anah At-Thalibin, juz  2, hal. 27).

 

Dari uraian di atas,  jelaslah bahwa harim masjid tidak dihukumi masjid sehingga apabila jamaah berada di dalam harim sedangkan imam di dalam masjid dan pintu menuju imam tertutup, maka hukum jamahnya tidak sah, seperti rahabah yang tidak termasuk masjid.

 

Kesimpulannya, jika jamaah berada di serambi masjid sedangkan imam di dalam masjid dan pintu masjid tertutup, maka  hukumnya diperinci (tafsil) berdasarkan status serambi masjid itu sendiri sebagai berikut:

 

  • Apabila serambi masjid  berstatus sebagai rahabah yang tidak diyakini dibangun setelah pembangunan masjid atau tidak diyakini bukan termasuk masjid, maka jamaahnya tetap sah meskipun pintunya tertutup.

 

  • Apabila serambi masjid berstatus sebagai rahabah yang diyakini dibangun setelah pembangunan masjid atau diyakini bukan termasuk masjid, ataupun serambi berstatus sebagai harim, maka hukum jamaahnya tidak sah melihat pintu menuju imam tertutup.

 

Wallahu a’lam bis shawab

 

KH Habibul Huda Bin Najid, Pengurus Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM PWNU)  Jawa Tengah.
 


Kiai NU Menjawab Terbaru