Nafkah Batin Tak Terpenuhi, Apakah Istri Berhak Gugat Cerai?
Sabtu, 30 November 2024 | 08:00 WIB
Masalah nafkah batin dalam pernikahan, khususnya dalam hubungan seksual antara suami dan istri yang dapat memicu ketidakharmonisan sering kali menjadi isu yang sensitif, namun penting untuk dibahas. Nafkah batin tidak hanya berkaitan dengan kewajiban biologis, tetapi juga merupakan salah satu aspek dalam menjaga keharmonisan rumah tangga.
Dalam konteks hukum keluarga Islam, suami memiliki kewajiban untuk memenuhi nafkah lahir dan batin bagi istri, termasuk hubungan seksual. Jika seorang suami enggan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam hal ini, meskipun dalam kondisi mampu secara fisik dan finansial, hal ini bisa berpotensi menimbulkan masalah serius dalam pernikahan.
Dewasa ini berkembang berbagai kasus tentang permintaan cerai atau gugat cerai oleh seorang istri karena suaminya tidak bisa memenuhi nafkah batin. Lantas apakah boleh seorang istri melakukannya dengan alasan tersebut. Pertanyaan mengenai hal ini telah menjadi perdebatan menarik dalam praktik hukum keluarga Islam. Sehingga muncul diskursus yang mengambil referensi dari berbagai kitab kuning atau kitab klasik.
Dalam Islam terdapat ruang bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai jika suami gagal memenuhi kewajibannya, termasuk nafkah batin. Namun, hal ini sering kali harus dibuktikan terlebih dahulu dalam proses hukum yang melibatkan bukti-bukti yang mendukung klaim ketidakmampuan atau ketidakmauan suami dalam memenuhi hak-hak istri, yang berujung pada pertanyaan tentang hak istri untuk memperoleh keadilan dalam pernikahan.
Hukum Gugat Cerai sebab Suami tidak Memenuhi Nafkah Batin
Berdasarkan penjelasan yang terdapat dalam karya-karya ulama fiqih, terdapat beragam pendapat yang muncul mengenai masalah ini. Hal ini disebabkan oleh perbedaan akar persoalan yang terjadi dalam masing-masing kasus, sehingga jawaban yang diberikan pun dapat berbeda-beda. Oleh karena itu untuk mempermudah, saya skemakan menjadi dua jawaban.
Pertama, Gugat cerai tidak dibolehkan. Ketika seorang istri mengajukan cerai karena suami memang enggan melakukan jima’ sementara suami dalam kapasitas mampu atau bisa melakukan. Atau ketika suami sudah melakukannya namun seorang istri tidak merasakan kepuasan.
Imam An-Nawawi menegaskan:
إذا اعترفت بقدرته على الوطء وقالت إنه يمتنع منه فلا خيار لها
Artinya, ”Jika wanita tahu suaminya mampu melakukan jima’ tapi istri mengatakan suami enggan melakukannya, maka tidak ada hak khiyar bagi istri”. (An-Nawawi, juzV/300).
Istilah khiyar dalam konteks tersebut merujuk pada pilihan untuk menggugat cerai atau tetap mempertahankan pernikahan. Artinya, dalam kasus yang dijelaskan, seorang istri tidak diberikan hak khiyar, yang berarti dia tidak diperbolehkan untuk menggugat cerai.
Pendapat yang sama juga dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin. Bahkan tetap tidak boleh menggugat cerai sekalipun dikhawatirkan terjadi zina.
أما الفسخ بتضررها بطول الغيبة وشهوة الوقاع فلا يجوز اتفاقاً وإن خافت الزنا
Artinya, “Adapun mengajukan fasakh karena wanita dirugikan dengan ketiadaan suami dalam waktu lama dan ketiadaan jima’, maka ulama sepakat itu tidak boleh, sekalipun khawatir terjadi zina.” (Abdurrahman bin Muhammad Al-Hadhrami, halaman 300).
Oleh karena itu, ketika suami enggan melaksanakan hubungan seksual, istri disarankan untuk melakukan pendekatan yang lebih persuasif dan penuh pengertian agar suami mau melayani dengan baik. Istri diharapkan mengajak dengan cara yang lembut dan penuh perhatian, agar keinginan batinnya dapat tersalurkan dengan baik. Pendekatan seperti ini dianggap sebagai cara yang diperkenankan dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Kedua, Istri diperbolehkan untuk melakukan khiyar (memilih untuk menggugat cerai atau bertahan dalam pernikahan) jika suaminya mengalami kondisi medis seperti kehilangan alat kelamin akibat kecelakaan atau penyakit yang menyebabkan impotensi, dan kondisi tersebut tidak dapat diharapkan untuk sembuh. Dengan kata lain, jika suami tidak lagi dapat melaksanakan kewajibannya dalam hal hubungan seksual karena masalah medis yang permanen, istri memiliki hak untuk memilih apakah ingin tetap bertahan atau mengajukan gugatan cerai.
Imam An-Nawawi mengemukakan:
فالتعنين مثبت للخيار وكذا الجب إن لم يبق ما يمكن الجماع به - وفي معناه المرض المزمن الذي لا يتوقع زواله ولا يمكن الجماع معه
Artinya, “Maka, impoten menetapkan khiyar. Begitu juga kelamin terputus jika tidak ada sisa yang memungkinkan melakukan jima'. Searti dengan itu adalah sakit kronis yang tidak bisa diharap sembuhnya dan tidak bisa melakukan jima'.” (Raudhatut Thalibin, juz V, halaman 528).
Faktor ini menunjukkan bahwa seorang istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai jika suaminya secara permanen tidak dapat memenuhi nafkah batin. Hal ini bisa terjadi apabila suami mengalami kondisi medis yang menghalanginya untuk melakukan hubungan seksual, seperti kehilangan alat kelamin atau impotensi yang tidak dapat disembuhkan. Dalam kasus seperti ini, istri tidak dapat memperoleh hak-haknya dalam pernikahan, yang menyebabkan ia berhak memilih untuk mengakhiri hubungan tersebut melalui gugatan cerai.