Keislaman

Malu sebagai Akhlak Terpuji  

Rabu, 2 Oktober 2024 | 09:00 WIB

Malu sebagai Akhlak Terpuji  

Foto: Ilustrasi

Malu sebagai Akhlak Terpuji
Hadis tentang malu sebagai akhlak terpuji yang dimuat dalam kitab Arba'in An-Nawawi adalah hadis nomor 20. Hadis ini berbunyi


 إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئتَ 


“Sesungguhnya di antara yang didapatkan manusia dari perkataan (yang disepakati) para Nabi adalah: ‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.”


Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Mas'ud Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri. Nama lengkapnya Uqbah bin Amru bin Tsa’labah bin Asirah bin ‘Athiyyah bin Khadarah bin Auf bin Harits bin Khazraj. Ibunya bernama Salma binti Azib bin Auf bin Abdullah bin Khalid bin Qudha'ah. Beliau termasuk sahabat yang ikut serta dalam perang Badar. Pada akhir hayat tinggal di Kufah. Meninggal pada akhir khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Sekitar tahun 60 Hijriah (Ibnu Khayyath, ath-Thabaqat, I/166).


Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Al-Adab”. Bab: “Jika Kamu Tidak Malu Maka Lakukan Sekehendakmu.” Kedudukannya shahih dan bisa dipakai hujjah atau dalil. Secara garis besar hadits ini membahas tentang malu. Yang merupakan sifat terpuji dan diakui hingga masa Nabi Muhammad bahkan hingga akhir zaman (Ibnu Daqiq al-‘Iid, Syarh al-Arba’in, 1/78).


Dari hadits tersebut saya mencatat ada beberapa poin yang disampaikan:
Pertama, Konsep Malu dalam Islam: Hadis ini menjelaskan pentingnya rasa malu sebagai akhlak terpuji yang diajarkan oleh para nabi terdahulu dan merupakan bagian dari warisan ajaran kenabian. Rasa malu dalam Islam bukanlah sekadar rasa enggan atau takut pada manusia, melainkan lebih dari itu, yaitu perasaan yang muncul dari kesadaran akan kehadiran Allah. Malu dalam konteks ini berarti menghindari perbuatan yang dapat mendatangkan murka Allah serta menjauhkan diri dari segala tindakan yang tidak sesuai dengan norma agama dan sosial.


Kedua, Malu Sebagai Pengendali Diri: Rasa malu menjadi pengendali bagi seseorang agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat. Ketika seseorang kehilangan rasa malu, ia akan dengan mudah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai agama, seperti berdusta, mencuri, atau melanggar hak-hak orang lain. Malu adalah penjaga hati dan perilaku dari kehinaan dan keburukan.


Ketiga, Makna ‘Jika Tidak Malu, Berbuatlah Sesukamu’: Pernyataan ini bukanlah perintah untuk berbuat bebas tanpa batas, melainkan peringatan bahwa jika seseorang sudah kehilangan rasa malu, maka dia akan berani melakukan apa saja tanpa takut akan dosa dan celaan manusia. Dengan kata lain, jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan terjatuh ke dalam perbuatan dosa dengan mudah, karena ia tidak punya penghalang atau kendali diri lagi.


Keempat, Pentingnya Malu dalam Menjaga Akhlak: Hadis ini mengingatkan umat Islam bahwa rasa malu adalah salah satu pilar penting dalam menjaga akhlak dan moralitas. Rasa malu yang benar adalah malu yang timbul karena takut kepada Allah, malu untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan malu untuk melakukan hal yang tercela di mata manusia.


Malu adalah salah satu sifat mulia yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Sifat ini akan menghalangi seseorang dari melakukan perbuatan buruk dan maksiat. Kehilangan rasa malu adalah tanda dari hilangnya akhlak dan moralitas seseorang, sehingga ia dapat melakukan berbagai tindakan tanpa memikirkan dampak atau konsekuensinya.