Hidup dalam Perbandingan di Media Sosial: Menemukan Ketenangan dengan Tasawuf
Jumat, 14 Maret 2025 | 16:30 WIB
Media sosial kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Banyak orang berlomba-lomba membagikan momen terbaik mereka, menampilkan kesuksesan, kebahagiaan, dan pencapaian yang diraih. Namun, di balik gemerlapnya unggahan tersebut, terdapat fenomena yang sering luput dari perhatian: kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Saat seseorang melihat teman-temannya tampak lebih sukses, bahagia, atau sempurna, perasaan gelisah pun muncul, disertai dengan menurunnya kepercayaan diri dan berkurangnya rasa syukur.
Sebenarnya, fenomena ini adalah contoh pertemuan antara dunia digital dan ilusi yang ada di dalamnya. Seringkali, apa yang ditampilkan di media sosial hanyalah gambaran yang dipilih dengan hati-hati daripada kenyataan sebenarnya. Meskipun demikian, banyak orang terjebak dalam ilusi ini sehingga mereka merasa hidup mereka tidak sebanding dengan orang lain. Dalam tasawuf, ini dianggap sebagai ghurur, atau penipuan dunia, yang menjauhkan hati dari ketenangan sejati.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kebenaran selalu lebih kuat daripada kepalsuan. Jika kehidupan media sosial lebih banyak dipenuhi dengan ilusi yang bersifat sementara, maka kehidupan yang hakiki terletak dalam kedekatan dengan Allah dan pemahaman akan hakikat diri.
Tasawuf mengajarkan bahwa membandingkan hidup dengan orang lain adalah sumber kegelisahan, karena sejatinya, setiap manusia memiliki perjalanan spiritualnya masing-masing. Kebahagiaan sejati bukan berasal dari bagaimana kita terlihat di mata manusia, tetapi bagaimana kita diterima di sisi Allah.
Para ulama sufi sejak dahulu telah mengajarkan bagaimana menghadapi dunia yang penuh dengan kepalsuan. Salah satu kisah yang relevan adalah kisah Imam Al-Ghazali yang pernah mengalami kegelisahan dalam hidupnya. Meskipun telah mencapai puncak kesuksesan sebagai seorang cendekiawan dan dihormati banyak orang, ia merasa jiwanya kosong. Ia kemudian meninggalkan segala kemewahan duniawi untuk mencari hakikat kehidupan yang sejati. Dalam perjalanannya, ia menyadari bahwa kebahagiaan tidak terletak pada pengakuan manusia, tetapi dalam ketenangan hati yang diperoleh dari penghambaan kepada Allah.
Dalam perspektif tasawuf, kebiasaan membandingkan hidup dengan orang lain di media sosial mencerminkan ketergantungan kepada makhluk, bukan kepada Allah. Hal ini sejalan dengan hikmah Ibnu Atha’illah Assakandari dalam kitabnya Al-Hikam yang berbunyi:
* طلبك منه اتهام له، وطلبك له غيبة منك عنه، وطلبك لغيره لقلة حياتك منه، وطلبك من غيره لوجود بعدك منه* (الحكمة 21)
Artinya: “Permintaanmu kepada selain Allah adalah tanda sedikitnya kehidupan hatimu bersama-Nya. Dan permintaanmu dari selain-Nya adalah bukti jauhnya dirimu dari-Nya." (Al-Hikam 21)
Jika kita terlalu terpengaruh oleh citra kehidupan orang lain di media sosial, kita sebenarnya sedang "meminta perhatian dan validasi" dari selain Allah. Kita ingin diakui, dipuji, dan dihargai, sehingga terus berusaha menampilkan kehidupan yang sempurna. Namun, tasawuf mengajarkan bahwa ketenangan sejati tidak datang dari pengakuan manusia, tetapi dari hubungan yang tulus dengan Allah.
وأما طلبك من غيره فلوجود بعدك عنه إذ لو تحققت بقربه منك وهو كريم ما احتجت إلى سؤال غيره وهو لئيم وسيأتي في المناجاة، أم كيف يطلب من غيرك وأنت ما قطعت عادة الامتنان . (إيقاظ الهمم في شرح الحكم. العارف بالله أحمد بن محمد ابن عجيبة الحسنى. مكتبة دار الكتب العلمية – بيروت. ج:1، ص:83).
Artinya: “Adapun permintaanmu dari selain-Nya menunjukkan jauhnya dirimu dari-Nya. Seandainya engkau benar-benar menyadari kedekatan-Nya kepadamu dan Dia adalah Dzat Yang Maha Pemurah maka engkau tidak akan membutuhkan untuk meminta kepada selain-Nya, yang sifatnya bakhil. Dalam bagian munajat akan disebutkan: Bagaimana mungkin seseorang meminta kepada selain-Mu, sedangkan Engkau tidak pernah berhenti memberi karunia dan anugerah?". (Iiqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam" karya Al-‘Arif Billah Ahmad bin Muhammad Ibn ‘Ajibah al-Hasani, diterbitkan oleh Maktabah Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah – Beirut, jilid 1, hlm 83)
Padahal, menurut hikmah Ibnu ‘Ajibah ini, seseorang yang benar-benar sadar akan kedekatan Allah tidak akan merasa kurang atau ingin meminta pengakuan dari selain-Nya. Jika seseorang sudah memahami bahwa Allah adalah sumber segala kebahagiaan dan rezeki, maka ia tidak akan terpengaruh oleh pencitraan di media sosial.
Kesimpulannya adalah tasawuf mengajarkan bahwa kebiasaan membandingkan diri di media sosial hanyalah bentuk keterikatan kepada dunia yang fana. Seorang hamba yang sadar akan hakikat kehidupan tidak akan sibuk dengan citra dirinya di mata manusia, tetapi hanya peduli dengan bagaimana Allah melihatnya. Jika ingin benar-benar bahagia, berhentilah mencari validasi dari media sosial. Sebaliknya, perbanyaklah dzikir dan berserah diri kepada Allah. Sebab, hanya dalam mengingat Allah, hati akan menemukan ketenangan sejati.