Keislaman

Geneologi Keilmuan Hadratussyaikh Hasyim Asy‘ari dan Keterhubungannya dengan Ulama Hadits Maghribi

Selasa, 26 Agustus 2025 | 17:00 WIB

Geneologi Keilmuan Hadratussyaikh Hasyim Asy‘ari dan Keterhubungannya dengan Ulama Hadits Maghribi

Foto: Hadratusyaikh Hasyim Asyari (Tebuireng.online)

Nahdlatul Ulama (NU) adalah rumah besar umat Islam, tempat berhimpunnya gerakan yang tak hanya berkiprah di Indonesia, tetapi juga turut memberi kontribusi bagi wajah peradaban dunia. Sejak awal berdiri, NU tampil sebagai jalan tengah yang mempertemukan gagasan para ulama dengan aspirasi umat, lalu merangkainya dalam bingkai perjuangan yang luhur.


Menilik perjalanan sejarah, tepat pada 16 Rajab 1334 H, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang kala itu berusia 47 tahun mengambil langkah bersejarah dengan mendirikan Nahdlatul Ulama. Sebuah ikhtiar penuh keikhlasan untuk menjaga persatuan, mengokohkan fondasi umat, sekaligus menyalakan harapan agar tidak goyah menghadapi perubahan zaman. Dari tangan beliau lahir wadah penuh berkah yang hingga kini tetap menjadi penopang umat.


Beberapa dekade kemudian, sejarah kembali menorehkan catatan penting di tanah Maghrib, Maroko. Pada tahun 2011, ulama karismatik KH. Maimoen Zubair berkunjung ke negeri itu. Dari kunjungan tersebut lahir sebuah tonggak baru: berdirinya Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko. Di Kota Tangier dikenal sebagai “Pengantin Utara” dan tanah kelahiran ulama besar seperti Sadah Ghumariyah hingga Ibnu Battutah.


Dalam sebuah tulisannya, Mbah Moen pernah menuturkan rasa syukur yang disertai sedikit kegelisahan. Beliau menyayangkan mengapa PCINU Maroko baru berdiri belakangan, padahal di sejumlah negara lain bahkan yang bukan mayoritas Muslim, NU sudah lebih dulu menorehkan kiprah. Meski begitu, sebagaimana matahari yang tetap memberi cahaya meski kadang terlambat disaksikan, kehadiran PCINU Maroko tetaplah sebuah anugerah. Ia menjadi jembatan yang menghubungkan tradisi ulama Nusantara dengan khazanah keilmuan Islam di dunia Arab dan Afrika.


Pernyataan Mbah Moen itu menurut kami menyimpan pesan tersirat, yang baru mulai jelas ketika menelusuri geneologi keilmuan pendiri NU, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Selain memiliki ikatan rohani dengan para wali Maghribi melalui amalan-amalan seperti Dalailul Khairat karya Imam Juzuli, Shalawat Nariyah (Taziyah) Syekh Abdul Wahhab at-Tazi, Hizib Barr dan Bahr karya Imam Syadzili, maupun Shalawat Masyisyiyah Imam Abdussalam bin Masyisy, ternyata beliau juga memiliki jalur keilmuan, khususnya dalam bidang hadis, yang bersambung dengan para ulama Maghribi.


Di antara banyak guru besar Hadratussyaikh yang sudah umum dikenal, ada satu nama yang menarik perhatian kami ketika menyusun Tsabat at-Tambusie. Melalui deretan guru yang ditulis oleh cucunya, KH. Ishom Hadziq, dalam pengantar kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, tercantum nama Syekh Syua‘ib bin Abdurrahman. Pertanyaan pun muncul: siapakah sosok Syekh Syua‘ib ini sebenarnya?


Saat Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari berada di Mekkah beliau memiliki guru ijazah bernama Al-Muhaddis Syekh Abu Syu’aib bin Abdurrahman Ad-Dukkali (bukan Dakkali) Ar-Ribathi Al-Maghribi (1295-1356 H). Hal ini dapat ditelusuri lewat sanad Shohih Imam Bukhari dari KH. Kamuli Chudlori pengampu majelis Shohih Imam Bukhari di PP. Tebuireng murid KH. Idris Kamali dan KH. Syansuri Baidhawi. Dan jika diperhatikan sanad melalui jalur Syekh Abu Syu’aib Ad-Dukkali (asal daerah Dukkalah Maroko) ini memiliki keistimewaan tiga perawi lebih tinggi dari sanad jalur Al-Muhaddis Syekh Mahfuzh Tremas, dengan rincian berikut:


Pertama melalui jalur Syekh Tremas lalu ke Sayid Bakr Syatha, beliau menjadi rawi ke 23, jalur kedua melalui Syekh Dukkali lalu ke Syekh Abdullah Qadumi An Nabulsi Syam, beliau rawi ke 19


KH. Hasyim Asy’ari memperoleh Sanad Shohih Bukhari dengan Talaqqi secara Sama’ dan Qiro’ah dari pondasi keilmuannya yaitu Syekh Mahfuzh Tremas, sedangkan sanad melalui Syekh Syuaib Dukkali didapat secara Ijazah saja. Sanad terbaik bagi kitab-kitab induk hadis khususnya kedua kitab Shohih Bukhari dan Muslim adalah dengan jalur Talaqqi bukan hanya jalur Ijazah (Lihat Fihris al-Fahares, Sayid Abdul Hayy Kettani).


Dari sini dapat diketahui bahwa daratan maghribi memiliki ikatan geneologi keilmuan dengan Hadratussyaikh dari guru ijazah beliau yang bernama Syekh Syu’aib Abdurrahman Ad-Dukkali di usianya yang jauh lebih muda dari Kyai Hasyim Asy’ari sendiri, hal ini dapat dilihat dari tahun lahir keduanya. Ini menunjukkan ketawadhuan dari Kiai Hasyim Asyari yang mengambil ilmu walau kepada yang lebih muda. Mengenai kapan terjadinya pertemuan keduanya tidak diketahui secara pasti sama halnya kitab apa saja yang diijazahi, hanya saja secara umum dalam A’lam al-Makkiyyin, Al-Muallimi menuliskan bahwa Ad-Dukkali memiliki majlis Tafsir dan Hadis di Bab Shafa dan Bab Sulaimaniyah di Masjidil Haram.


Syekh Syu’aib bin Abdurrahman Ad-Dukkali Al-Maghribi wafat di kota Rabat pada (1356 H-1937 M) dan dimakamkan di Medina Qadima tepatnya di Zawiyah Moulay Makky Al-Wazzani Al-Hasani. Informasi sejarah dan maklumat penting ini mengakhiri puzzle yang hilang selama ini serta menjawab teka-teki sosok guru Hadratussyaikh yang ternyata berasal dari barat dunia Islam tanah para auliya “Daratan Maghribi”.


Ini menjadi destinasi tour baru bernuansa rohani bagi seluruh nahdhiyyin baik di dalam maupun luar Maroko untuk singgah menziarahi makam guru ijazah kitab bukhari dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang digadang sebagai As-Syaikh Al-Imam Al-Muhaddis Al-Mufassir oleh ulama pada masanya. Mengakhiri tulisan ini kami berharap semoga tempat asal dari guru-guru Hadratussyaikh seperti Jawa-Hijaz-Maroko menjadi basis kuat nahdhiyyin dan tempat pengkaderan intelektual yang disegani dunia islam.


Referensi: Adabul ‘Alim wal Muta’allim dan At-Ta’liqat Al-Wadhihat KH. Hasyim Asyari, A’lam Al-Makkiyyin Abdullah Al-Muallimi, Sallun Nishal linnidhal Abdussalam Bensaudah, Tsabat At-Tambusie Abu Shafa At-Thanji.