Warta

Kisah Warga Yang 20 Tahun Hidup di Atas Rob, Ini Harapan Mereka

Selasa, 24 Juni 2025 | 19:00 WIB

Kisah Warga Yang 20 Tahun Hidup di Atas Rob, Ini Harapan Mereka

Mbah Sumaerah, warga Bedono, Sayung Demak yang puluhan tahun tinggal diatas rob.

Demak, NU Online Jateng 

Sudah lebih dari dua puluh tahun warga Dukuh Pandansari, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, hidup berdampingan dengan rob. Air laut yang naik ke daratan bukan lagi sekadar bencana musiman, melainkan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. 

 

Di tengah keterbatasan dan keprihatinan itu, masyarakat menaruh harapan besar pada proyek giant sea wall (tanggul laut) yang kini sedang dikebut pembangunannya oleh pemerintah pusat.

 

Zamroni (50), salah satu tokoh masyarakat setempat, mengungkapkan bahwa harapan warga kini tertumpu sepenuhnya pada proyek tanggul laut. 

 

"Masyarakat di sini sudah tidak berharap banyak pada solusi sementara seperti penyedotan air atau pengerukan sungai. Itu hanya bersifat sesaat. Kalau ingin tuntas, ya hanya tanggul laut yang bisa menyelesaikan," ujarnya saat ditemui di depan warung yang juga menjadi tempat tinggalnya bersama sang istri, Selasa (24/6/2025).

 

Warung kecil tersebut berdiri di atas lahan milik Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS). Zamroni pindah ke tempat itu sejak tahun 2015, setelah rumahnya di RT 02 RW 04 tenggelam oleh rob yang makin parah setiap tahun. 

 

Ia tidak sendiri. Banyak warga lain yang juga memilih hengkang dari rumah mereka karena air rob tak lagi bisa dikendalikan, meskipun upaya meninggikan rumah telah dilakukan berulang kali.

 

"Sejak 2021 rob di sini makin parah. Hampir setiap tahun rumah harus ditinggikan satu meter. Tapi tidak sampai setahun, air sudah naik lagi. Masyarakat kehabisan uang hanya untuk memperbaiki rumah. Padahal kebutuhan hidup tidak cuma itu. Ada makan sehari-hari, ada anak sekolah, ada biaya berobat,” jelasnya dengan nada sedih.

 

Bagi warga seperti Zamroni, tinggal di tengah rob bukan pilihan, melainkan keterpaksaan. Beberapa di antaranya tetap bertahan meskipun rumah sudah tak layak dihuni. Salah satunya adalah Mbah Sumaerah (70), tetangga Zamroni, yang tinggal di sebuah rumah papan yang tampak seperti rumah apung.

 

Mbah Sumaerah tinggal bersama anaknya, Unawanah (35), menantunya Syukron Akbar (37), serta dua cucunya yang masih kecil: Narulita Noverona (8) dan Yunia Amalia (5). Rumah mereka digenangi rob setinggi perut orang dewasa. Untuk masuk ke dalam rumah, harus melalui jembatan bambu sederhana dan membungkukkan badan. Kondisinya sangat tidak layak, baik dari segi kesehatan maupun keselamatan.

 

“Saya tinggal di sini sejak umur 15 tahun. Dulu saat saya remaja, rob tidak seperti ini. Sekarang parah banget. Setiap hari air masuk rumah, tidur ya di atas air. Mandi dan makan juga di dalam. Kami sudah terbiasa hidup begini,” ujarnya lirih sambil memegangi pinggangnya yang nyeri akibat usia dan kondisi lingkungan yang tak bersahabat.

 

Suaminya, Musa, telah wafat tujuh tahun lalu. Sejak itu, ia menggantungkan hidup pada anak dan menantunya yang bekerja sebagai buruh. Ketika ditanya soal relokasi, ia mengaku takut jika nantinya dibebani biaya, meskipun pemerintah telah menyampaikan bahwa relokasi itu bersifat gratis.

 

“Kalau pindah, bayar pakai apa? Tanahnya memang gratis, katanya rumah juga dibangunkan. Tapi saya takut nanti tetap disuruh bayar. Untuk makan saja susah. Sementara di sini dulu saja, meski hidupnya di atas rob,” tutur perempuan renta itu penuh harap.

 

Kisah Zamroni dan Mbah Sumaerah adalah potret nyata penderitaan warga pesisir Demak. Mereka tidak sekadar menghadapi rob, tetapi juga menghadapi keterbatasan ekonomi, ketidakpastian masa depan, dan minimnya pilihan hidup. 

 

Warga yang sudah puluhan tahun pasrah dalam genangan air kini menggantungkan harapan penuh pada keberhasilan proyek tanggul laut yang dirancang mampu menahan air pasang dari Laut Jawa.

 

Selain menanti tanggul laut, warga juga mengusulkan agar pemerintah memberi perhatian terhadap akses jalan desa yang kini rusak dan tergenang. Jalan yang layak dianggap sangat penting agar masyarakat bisa tetap bekerja dan beraktivitas.

 

"Setiap hari warga harus menerjang rob untuk pergi kerja. Kalau jalan desa diperbaiki, setidaknya warga masih bisa menyambung hidup meski rumah mereka tergenang," kata Zamroni.

 

Tanggul laut yang tengah dibangun kini menjadi simbol harapan bagi warga Desa Bedono dan sekitarnya. Mereka berharap, proyek tersebut tidak molor atau berhenti di tengah jalan. Di tengah pasrah dan keterbatasan, warga hanya ingin kehidupan yang lebih baik: rumah yang aman dari air, jalan yang bisa dilalui, dan anak-anak yang bisa tumbuh dalam lingkungan yang layak.