Nasional

Refleksi 75 Tahun Hubungan RI-RRT: Meneguhkan Diplomasi Ekonomi dan Sosial

Senin, 10 Maret 2025 | 13:00 WIB

Refleksi 75 Tahun Hubungan RI-RRT: Meneguhkan Diplomasi Ekonomi dan Sosial

Seminar Nasional & Konferensi Cabang Istimewa IV dengan tema "Refleksi 75 Tahun Hubungan RI-RRT" pada Sabtu (8/3/2025).

Beijing, NU Online Jateng

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok menggelar Seminar Nasional & Konferensi Cabang Istimewa IV dengan tema "Refleksi 75 Tahun Hubungan RI-RRT" pada Sabtu (8/3/2025). Acara ini menghadirkan pakar dan akademisi yang membahas dinamika hubungan diplomatik, tantangan ketenagakerjaan, serta peluang ekonomi dan sosial antara Indonesia dan Tiongkok.


Kegiatan ini diikuti lebih dari 200 peserta secara hybrid (daring dan luring), yang terdiri dari akademisi, jurnalis senior, perwakilan organisasi keagamaan dan buruh, serta mahasiswa Indonesia di dalam negeri maupun di Tiongkok.


Hadir sebagai pembicara utama:

 
  • Iwan Santosa (Jurnalis Senior Harian Kompas dan Sekjen Perkumpulan Persahabatan Alumni Tiongkok Indonesia (PERHATI))
  • H Irham Ali (Presiden NU Labor Confederation)
  • Ahmad Syaifuddin Zuhri (Direktur Sino Nusantara Institute, PCINU Tiongkok)
  • Sarah Hajar Mahmudah (Dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta, sebagai moderator)


Poin-Poin Utama dalam Seminar


1. Diplomasi Ekonomi: Indonesia Perlu Memaksimalkan Potensi Pasar Halal


Dalam pemaparannya, Iwan Ong menyoroti minimnya keterlibatan Indonesia dalam pasar halal global. Dibandingkan dengan Thailand yang aktif dalam pameran produk halal di Timur Tengah, produk pangan halal Indonesia belum terdengar gaungnya di pasar internasional.


"Indonesia sebagai negara Muslim terbesar harus lebih agresif dalam memanfaatkan peluang ini melalui kerja sama strategis dengan Tiongkok," ujarnya.


Ia juga menekankan pentingnya diplomasi Islam dalam memperkuat kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok. Menurutnya, roadmap kerja sama harus melibatkan kementerian terkait guna memastikan keberlanjutan dan manfaat bagi kedua negara.


2. Investasi Tiongkok di Indonesia: Peluang dan Tantangan bagi Ketenagakerjaan


Sementara itu, Irham Ali membahas isu bonus demografi dan tantangan ketenagakerjaan di Indonesia. Saat ini, Indonesia memiliki 150 juta angkatan kerja, tetapi 60% masih berada di sektor informal. Selain itu, tingkat pengangguran usia muda (youth unemployment) mencapai 22%, menjadikannya salah satu yang tertinggi di Asia.


Meski investasi asing ke Indonesia meningkat dalam 15 tahun terakhir, konversi investasi terhadap penciptaan lapangan kerja masih rendah. Ia mengungkapkan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia banyak terkonsentrasi di sektor ekstraktif (pertambangan dan sumber daya alam), sementara sektor padat karya seperti garmen dan manufaktur belum banyak tersentuh.


"Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mendorong investasi di sektor yang lebih banyak menyerap tenaga kerja, seperti manufaktur, tekstil, dan industri berbasis SDM," ungkapnya.


3. People-to-People Diplomacy: Menjembatani Persepsi Publik


Dalam sesi terakhir, Ahmad Syaifuddin Zuhri menekankan pentingnya hubungan antar masyarakat (people-to-people diplomacy) dalam memperkuat hubungan RI-RRT.


Ia mengulas sejarah hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok, yang mengalami pasang surut, mulai dari hubungan erat di era Presiden Soekarno, pemutusan hubungan di era Orde Baru, hingga normalisasi di awal 1990-an.


Saat ini, meskipun kerja sama ekonomi semakin erat, hubungan antar masyarakat kedua negara masih menghadapi tantangan persepsi negatif.


"Masih banyak masyarakat Indonesia yang memiliki stereotip negatif terhadap Tiongkok, baik karena faktor sejarah maupun narasi yang berkembang di media," paparnya.


Oleh karena itu, ia mendorong organisasi seperti PCINU Tiongkok untuk menjadi jembatan dalam membangun pemahaman yang lebih baik melalui kerja sama akademik, pertukaran budaya, dan pendidikan.