Nasional

Lingkungan Kerja Toksik Berpengaruh pada Kesehatan Mental Karyawan, Ini Penjelasan Psikolog

Jumat, 11 Oktober 2024 | 17:00 WIB

Semarang, NU Online Jateng

Isu kesehatan mental semakin sering dibicarakan di media sosial, dengan banyak orang yang merasa lelah dengan pekerjaannya dan membagikannya di platform tersebut. 


Psikolog Klinis, Bianglala Andradewi, menyebut bahwa pekerjaan memang sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental. Selain tuntutan pekerjaan yang mengharuskan karyawan bekerja dari pukul 9 hingga 5, lembur, serta potensi perundungan atau pelecehan di tempat kerja, semua ini membuat seseorang rentan terhadap gangguan kesehatan mental.


"Terus mungkin target yang nggak realistis. Terus yang paling sering itu mungkin atasan atau rekan kerja yang nggak kooperatif," kata wanita yang akrab disapa Lala itu kepada NU Online Jateng, Kamis (10/10/2024).


Lala menjelaskan bahwa meskipun seorang karyawan memilki banyak tugas, ia  akan lebih mampu mengatasinya jika mendapat rekan kerja yang baik dan atasan yang suportif.


"Jadi seringnya tuh meskipun kerjaannya banyak, tapi kalau teman-temannya baik dan atasannya sportif, mereka lebih bisa mengatasinya. Istilahnya, kalau kerja ya kerja, nanti kalau mau sambat ya di jam istirahat sama teman-teman sambil ngopi bareng, tapi misalnya ada masalah sama rekan kerja atau atasan kan jadi problem," lanjutnya.


Menurut Lala, salah satu hal yang sangat penting untuk mengatasi gangguan kesehatan mental pada karyawan adalah dengan melakukan pembenahan sistem di perusahaan jika tempat kerja sudah terasa tidak nyaman dan toksik.

 

Jika seorang karyawan sudah berusaha menjaga kesehatan mental namun tidak didukung dengan lingkungan kerja yang sehat, maka itu sama saja. Misalnya, co-worker yang toksik, atasan yang tidak mengayomi, atau atasan yang melakukan bullying bahkan pelecehan karena memiliki relasi kuasa.


"Istilahnya, kita udah minum vitamin setiap hari, tapi kita masuk ke dalam tempat yang banyak kumannya dan banyak racunnya, kan sama saja," ujarnya.


Lala menjelaskan bahwa seorang atasan perlu membuat manajemen sistem yang mendukung kesehatan mental karyawannya, contohnya dengan memperbaiki kultur tim atau kultur pekerjaan. Hal ini dapat dilakukan dengan fokus pada aspek yang bersifat supportif dan akomodatif.


"Terus, misalnya perusahaan membuat program atau proyek yang fokus pada kesehatan mental, seperti training yang berfokus pada kesehatan mental. Misalnya meditasi bersama atau yoga bersama, itu hal-hal yang bisa memberikan opsi bagi karyawan untuk mengatasi isu kesehatan mental mereka," jelasnya.


Lebih dari itu, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan mental karyawan di dunia kerja, yaitu promotif, preventif, dan kuratif. Langkah kuratif dapat dilakukan oleh perusahaan dengan membuat kebijakan tentang Employee Assistance Program (EAP) atau konseling untuk karyawan.


"Jadi, membantu karyawan untuk mendampingi secara psikologis menggunakan psikolog, dan yang bayar nanti perusahaannya. EAP ini belum banyak dilakukan oleh perusahaan karena mungkin masalah budget," ujarnya.


Berdasarkan pengalaman Lala di House of Welas Asih Consulting Semarang, yang telah menangani sejumlah perusahaan, banyak karyawan merasa terbantu dengan konseling gratis yang disediakan. Namun, menurutnya, banyak perusahaan lebih memprioritaskan anggarannya untuk hal-hal lain.


"Jadi, mereka (karyawan) nggak punya waktu untuk konseling. Nah, kalau konseling yang disediakan perusahaan biasanya dilakukan di jam kantor, sedangkan kalau mereka konseling sendiri setelah pulang kantor, sudah capek, jadi mereka nggak ada waktu untuk konseling," ujarnya.