• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Selasa, 7 Mei 2024

Keislaman

Perbedaan Antara Ibadah yang Bid'ah dengan Ibadah yang tidak Bid’ah (1)

Perbedaan Antara Ibadah yang Bid'ah dengan Ibadah yang tidak Bid’ah (1)
Ilustrasi
Ilustrasi

Cara praktis membedakan mana ibadah yang bid'ah dan mana ibadah yang bukan bid'ah cukup sederhana sehingga orang paling awam sekali pun akan bisa dengan mudah memahaminya. Dengan kemudahan memahami teori ini, akan menjadikan orang tidak perlu larut dalam ruang perdebatan panjang yang tidak perlu.

 

Agar tidak keliru, istilah bid'ah di dalam artikel ini mengacu pada tindakan baru yang pasti buruk karena melawan sunnah (sesuai definisi yang tidak membagi-bagi makna bid'ah). Bagi mereka yang mengikuti definisi bid'ah secara bahasa sehingga membagi-baginya, maka istilah bid'ah dalam tulisan ini berarti bid'ah sayyi'ah.

 

Baca artikel sebelumnya:

Cara Membedakan antara Ibadah dengan Adat

Perbedaan antara Ibadah dengan Hal yang Bernilai Ibadah

 

Secara praktis, suatu tindakan ibadah atau tindakan non-ibadah yang bernilai ibadah menjadi bid'ah tatkala punya salah satu dari dua kriteria berikut:

 

Pertama, tak punya dalil atau dasar sama sekali dari syariat.

Penting diketahui bahwa yang dimaksud dalil itu luas sekali. Dalil di sini jangan disempitkan hanya pada teks al-Qur'an dan hadits saja. Pembatasan seperti ini adalah reduksi besar-besaran terhadap makna dalil syariat.

 

 

Di semua kitab ushul fiqih standar (bukan kitab ringkasan) dinyatakan bahwa yang disebut dalil syariat atau sumber hukum fiqih adalah al-Qur'an, hadits, ijma', qiyas dan berbagai metode ijtihad lain yang diperselisihkan detailnya seperti istihsan, istishab, maslahah mursalah, 'amalu ahlil madinah, qaulul shahabi, syar'u man qablana, sadd ad-dzari'ah, 'urf dan istiqra'.

 

Bila suatu tindakan keagamaan sama sekali baru sehingga tak mempunyai satu pun dalil dari beberapa dalil di atas, maka dapat dipastikan bahwa ibadah itu berstatus bid'ah. Akan tetapi ketika tindakan itu masih mempunyai sandaran dalil dari salah satunya, maka berarti bukan bid'ah.

 

Kedua, kehadiran kegiatan yang baru menentang aturan syariat yang telah ada sebelumnya.

Sebagaimana dijelaskan pada artikel sebelumnya, setiap ibadah mempunyai syarat dan rukun yang mengikatnya dalam cara tertentu, waktu tertentu, tempat tertentu, jumlah tertentu dan seterusnya. Aturan-aturan ini harus dipenuhi tanpa sedikitpun dimodifikasi, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Segala aturan yang mengakibatkan ada penambahan atau pengurangan atas aturan syariat yang telah ada, mempunyai konskuensi menjadikan penambahan tersebut dinilai sebagai bid'ah dan menentang syariat.

 

Poin utama kriteria kedua ini adalah ‘aturan’. Harus dibedakan antara ‘aturan’ dengan ‘tindakan secara umum yang bukan aturan’. ‘Aturan’ berarti patokan yang dibuat untuk dijalankan terus menerus sedangkan ‘tindakan’ adalah perbuatan secara umum yang aksidental.

 

Bila seseorang menggaruk hidungnya ketika membaca surat al-Fatihah dalam shalat, maka itu suatu tindakan yang tidak mempunyai landasan dalil tekstual dari al-Qur'an dan hadits. Tapi bukan berarti hal itu disebut bid'ah. Berbeda apabila dia membuat aturan, setiap membaca surat al-Fatihah dalam shalat ‘harus’ atau ‘disarankan’ menggaruk hidung, maka hal tersebut dinamakan ‘bid'ah’.

 

Contoh penerapan kedua kriteria itu sebagai berikut:

Pertama, shalat menghadap Monas. Dalam aturan syariat, ada syarat rukun shalat yang harus dipenuhi yang salah satunya adalah menghadap kiblat. Apabila aturan menghadap kiblat ini diganti dengan menghadap Monas, maka hal itu bid'ah.

 

Kedua, mengelilingi mayit tujuh kali putaran. Tindakan mengelilingi suatu objek itu ada yang ibadah, semisal thawaf di Baitullah, dan ada juga yang non ibadah seperti olah raga mengelilingi lapangan. Perbedaannya, kegiatan ibadah harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh syariat, sedangkan yang bukan ibadah, bebas.

 

Ternyata satu-satunya ibadah berupa berkeliling yang dikenal dalam syariat Islam hanyalah thawaf di sekitar Baitullah. Dengan demikian, tradisi sebagian daerah ini tergolong bid'ah karena dilakukan dengan motif ibadah tetapi tak ada dalilnya sama sekali dari syariat.

 

Ketiga, shalat raghâib, pada nishfu sya'ban atau Rebo Wekasan. Di antara syarat yang diatur tentang shalat adalah soal waktu, tujuan dan tata cara khusus. Setiap shalat mempunyai jadwal waktu dan tujuan masing-masing yang ditentukan oleh syariat. Ketentuan waktu misalnya, dilaksankan setelah terbenam matahari, pagi, malam dan seterunya.

 

Ketentuan tujuan, misalnya untuk mendekatkan diri kepada Allah secara mutlak atau untuk tujuan tertentu semisal meminta hujan, terjadi gerhana, menghormati masjid, istikharah dan seterusnya.

 

Ketentuan tata cara misalnya jumlah rakaat, gerakan dan jenis bacaan. Ketiga jenis shalat ini ternyata sama sekali tak memiliki ketentuan waktu, tujuan dan tata cara yang bisa digali dari satu pun dalil syariat yang shahih sehingga ia adalah bid'ah.

 

Bersambung... 

 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur


Keislaman Terbaru