Mengapa Zakat Fitrah Sebaiknya Berupa Makanan Pokok?
Setahun sekali umat Islam diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuk diberikan kepada mustahiq zakat, terutama fakir-miskin. Meski zakat fitrah boleh diujudkan dalam bentuk uang sebagaimana pendapat ulama-ulama Hanafiyah, ulama-ulama Syafi’iyah memandang lebih baik zakat fitrah berupa makanan pokok sesusai dengan kebiasan setempat sebagai makanan sehari-hari yang mengenyangkan perut. Bisa saja zakat fitrah untuk pulau Jawa berupa beras, namun di pulau lain yang jarang tersedia beras, zakat fitrah bisa berupa sagu, atau lainnya.
Zakat fitrah ini harus sudah disampaikan kepada musthiq
zakat paling lambat sebelum shalat Idul Fitri 1 Syawal di pagi hari. Setelah
itu zakat fitrah tidak sah, tetapi tetap berpahala sebagai sedekah biasa.
Mengapa zakat fitrah sebaiknya berupa bahan makanan pokok dan mengapa pula
harus diberikan sebelum shalat Id? Berikut ini adalah sebagian dari jawabannya.
Pertama, sebelum berangkat ke masjid atau tanah lapang
untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, umat Islam disunnahkan makan terlebih
dahulu. Sunnah ini tidak bisa dilaksanakan oleh para fakir-miskin apabila
mereka memang tidak memiliki sesuatu untuk dimakan karena saking miskinnya.
Justru karena itulah, maka zakat fitrah sebaiknya berupa makanan pokok. Jika
berupa uang tentu tidak bisa dimakan karena uang adalah alat untuk transaksi
jual beli.
Mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa membayar zakat
fitrah adalah dengan qût (makanan pokok) . Pendapat itu didasarkan pada hadits
yang menyatakan zakat fitrah adalah harus dengan makanan pokok sebagaiamana
diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma sebagai berikut:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ
اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ.
Artinya, “Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu
sha’ kurma atau satu sha’ gandum” (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, makan di pagi hari sebelum melaksanakan shalat Idul
Fitri merupakan salah satu tanda bahwa puasa Ramadhan memang sudah berakhir di
mana umat Islam dapat kembali makan di pagi hari lagi sebagaimana hari-hari
biasa di luar Ramadhan. Itulah sebabnya hari raya setelah berakhir Ramadhan
disebut Idul Fitri. Secara harfiah, “Idul Fitri” berarti “kembali makan di pagi
hari (sarapan)” sebagaimana hari-hari biasa.
Makan pagi tentu berbeda dengan makan sahur. Letak
perbedaanya adalah makan sahur dilakukan pada dini hari dengan tujuan berpuasa.
Batas maksimalnya adalah dengan tibanya waktu shubuh. Sedangkan makan pagi atau
sarapan umumnya dilakukan sebelum berangkat kerja karena tidak berpuasa. Dalam
konteks Idul Fitri makan pagi dilaksanakan sebelum berangkat beribadah kepada
Allah, yakni melaksanakan shalat Idul Fitri, bisa di masjid, di tanah lapang, atau
tetap berada di rumah dalam masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Ketiga, untuk memastikan bahwa pada 1 Syawal tidak ada
fakir-miskin yang tidak memiliki makanan sehingga bersedih hati di
tengah-tengah umat Islam dianjurkan menunjukkan kegembiraannya dengan menyambut
datangnya hari raya Idul Fitri. Umumnya orang masih bisa tersenyum walau tidak
memiliki uang. Tetapi mereka bisa marah dan bahkan berbuat jahat ketika lapar
dan tidak ada yang bisa dimakan.
Oleh karena itu, mayoritas ulama Syafi’iyah berpendapat
bahwa membayar zakat fitrah sebaiknya tidak dengan uang tetapi dengan bahan
makanan agar segera dapat dikonsumsi untuk menyambut Idul Fitri dengan
menyantap makan pagi dahulu sebelum berangkat menunaikan shalat Idul Fitri.
Keempat, pada 1 Syawal sebelum shalat Idul Fitri pada
umumnya tidak ada orang berjualan makanan. Semua warung sebelum pelaksanaan
shalat Idul Fitri umumnya tutup sehingga memiliki uang pada saat itu tidak
menjamin seseorang bisa membeli sesuatu untuk dimakan. Lain halnya dengan
setelah shalat Idul Fitri, beberapa warung makan biasa buka dan banyak pembeli.
Di situlah permasalahannya, jika fakir miskin mendapatkan
zakat fitrah berupa uang dan uang baru bisa dibelikan makanan setelah shalat Idul
Fitri, tentu mereka kehilangan kesempatan menjalankan sunnah Nabi, yakni makan
atau sarapan pagi sebelum berangkat menunaikan shalat Idul Fitri. Ini bisa
merugikan mereka dilihat dari kesempatan beribadah.
Dari keempat alasan itulah, maka bisa dimengeti bahwa
sebagian besar ulama memandang menunaikan zakat fitrah sebaiknya dengan makanan
pokok daripada uang. Tetapi apabila penyerahannya lewat amil zakat, maka amil
tersebut sebaiknya membelikan makanan pokok terlebih dahulu baru kemudian
disampaikan kepada mustahiq zakat sudah berupa makanan pokok dan bukan uang
tunai.
Jika para ulama Hanafiyah memandang uang lebih praktis dan
lebih bermanfaat bagi fakir-mskin, maka baik-baik saja memberikan uang kepada
mereka sebagai sedekah namun dengan tetap memberikan makanan pokok kepada
mereka sebagai zakat. Cara kombinasi antara pandang ulama Syafi’iyah dan ulama
Hanfiyah ini tentu lebih bijak dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi
para muzakki untuk mendapatkan pahala yang lebih banyak.
Muhammad Ishom,
dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta.
Sumber: Mengapa Zakat FitrahDianjurkan Berupa Makanan Pokok?