Tokoh

KH Abdullah Jamil: Kiai Pejuang dari Tarub Tegal

Selasa, 3 Juni 2025 | 11:00 WIB

KH Abdullah Jamil: Kiai Pejuang dari Tarub Tegal

KH Abdullah Jamil (Foto: Dok Istimewa)

Di sebuah desa kecil bernama Karangjati, Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal, lahirlah seorang anak laki-laki pada 23 April 1951. Anak bungsu dari sembilan bersaudara ini diberi nama Abdullah Jamil. Masyarakat sekitar akrab memanggilnya Kiai Dulloh. Ia tumbuh dalam keluarga religius dari pasangan H Abdul Jamil dan Hj Shofwah.


Konon, darah keberanian dan kealiman mengalir dalam dirinya, karena silsilah keluarganya tersambung ke Ki Bangkit, tokoh legendaris yang dikenal mampu menaklukkan buaya putih di Kali Rambut dengan keris buatan sendiri.


Setelah menyelesaikan pendidikan di SMEP, Kiai Dulloh melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Buntet Pesantren, Cirebon. Di sana, ia belajar kepada banyak ulama besar, di antaranya KH Khowi bin KH Anwar Buntet, seorang muqaddam Thariqah Tijaniyah, serta KH Mustahdi Abbas dan KH Abdullah Abbas. Perjalanan intelektual dan spiritualnya berlanjut dengan berguru kepada KH Miftach Kajen dan KH Syatori Blendung.


Takdir mempertemukannya dengan Nyai Farkhiyyah, cucu ulama besar Cirebon KH Abdul Qohar. Dari pernikahan ini, lahir lima anak: Muhammad Fahmi Mubarok, Ummu Izzi Khanani, Muhammad Syamsul Azhar, Ahmad Bujayromi Ahda, dan Farah Hanum Isfandiyari.


Aktif di NU dan Politik Kebangsaan


Sejak muda, Kiai Dulloh aktif di Nahdlatul Ulama (NU). Pada akhir 1970-an, ia turut mempelopori berdirinya IPNU dan IPPNU di Tarub. Ia menjadi sekretaris MWCNU Tarub (1971–1984) dan aktif di PC GP Ansor Kabupaten Tegal sebagai pengurus bidang kaderisasi. Setelah Khittah 1926 ditegaskan kembali, ia menjadi Wakil Rais Syuriyah MWCNU Tarub.


Tahun 1998, ia ikut mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Kabupaten Tegal. Namun ketika terjadi perpecahan di tubuh PKB, ia memilih bergabung dengan barisan Gus Dur dan menjadi deklarator Gerakan Kebangkitan Rakyat (Gatara).


Ia juga tercatat sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah dan Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Tegal. Selain itu, ia aktif di YAUMI dan menjabat Ketua I MUI Kabupaten Tegal. Kyai Dulloh juga menjadi penggerak dalam mendukung Gus Dur saat Muktamar NU ke-29 di Tasikmalaya, di tengah tekanan politik yang ingin menggagalkan terpilihnya Gus Dur.


Dedikasi untuk Pendidikan


Pasca Muktamar NU di Situbondo 1984, Kyai Dulloh bersama KH Ismail Makmun, KH Masyhudi, dan KH Abdullah Nawawi bermusyawarah terkait masa depan MWCNU Tarub. Hasilnya, dua tokoh memilih jalur politik, sementara Kyai Dulloh dan KH Masyhudi memilih fokus memperkuat NU melalui jalur pendidikan dan dakwah.


Ia bersama para tokoh mendirikan Yayasan Hasyim Asy’ari pada 20 Oktober 1986, dengan akta notaris Rini Sumintapura. Lembaga pertama yang didirikan adalah MTs NU Hasyim Asy’ari pada tahun ajaran 1986–1987. Yayasan ini kemudian berkembang pesat dengan mendirikan SMA, SLTP, SMK, Pondok Pesantren, hingga Panti Sosial Asuhan Anak.


Kiai Dulloh juga aktif memajukan pendidikan Al-Qur’an. Ia mempelopori berdirinya lebih dari 470 TK/TPQ se-Kabupaten Tegal sejak 1990. Ia mencetuskan metode baca tulis Al-Qur’an “As Syifa”, yang hingga kini digunakan di banyak TPQ.


Akhir Hayat Penuh Khidmah


Kiai Abdullah Jamil wafat pada malam Selasa, 18 Mei 2010, dalam usia 59 tahun. Seminggu sebelumnya, ia masih menerima tamu ulama dari Afrika Selatan, Syaikh Hasyim Barrodah. Ia wafat dalam keadaan masih aktif memimpin pesantren, yayasan, organisasi keagamaan, dan membina umat.


Warisan perjuangannya tak hanya berupa lembaga pendidikan dan kaderisasi, tetapi juga metode pembelajaran Al-Qur’an dan semangat khidmah yang menyala hingga akhir hayat.


Al-Fatihah...


Sumber:
Dari Gus Muhammad Azhar, putra KH Abdullah Jamil.