Taushiyah

Santri dan Warga NU Harus Tetap Ngaji 

Rabu, 20 April 2022 | 05:00 WIB

Santri dan Warga NU Harus Tetap Ngaji 

Foto: Ilustrasi

Oleh: KH Yusuf Chudlori


Menjadi santri tak hanya berada di pondok pesantren belaka. Ilmu yang didapat di pesantren harus terus dipakai, tak mengenal usia. Ilmu yang diperoleh santri selama mondok harus tetap diamalkan, meski sudah tidak berada di pondok. 


Harus diupayakan sebisa mungkin dipakai misal untuk dakwah di tengah-tengah masyarakat. Dirinya bercerita tentang sesosok santri alim yang melawan (VOC) Belanda pada 1825. Santri itu bernama Abdul Hamid. Setiap hari melakukan perang gerilya. 


Namun, yang tak pernah dilupakan dari santri alim ini dan pasukannya adalah mengaji. Pagi mengaji malamnya bergerilya, begitu seterusnya. Dia adalah Pangeran Diponegoro, sesekali kita bisa menilik peninggalan Pangeran Diponegoro di Museum Bakorwil Magelang. Di sana masih ada kitab Fathul Qorib dan tasbih milik Pangeran Diponegoro.


Pangeran Diponegoro wafat dalam keadaan membawa Fathul Qorib di tangan kanan dan di tangan kiri tasbih. Kedua peninggalan ini masih ada di museum tersebut. Tentu masih banyak peninggalan pahlawan perjuangan ini,


Meski berilmu setinggi langit kalau telah meninggalkan ngaji ya bukan santri. Contoh Pangeran Diponegoro adalah contoh santri yang meskipun tidak lagi tinggal di pesantren, tetap terus mengaji hingga akhir hayat dan itu bentuk contoh santri kepada santri millenial. 


Jadi, mengajilah sepanjang hayat di bandung badan. Walaupun warga NU bukan jebolan pesantren, jangan sekali-kali menanggalkan kesantriannya. Boleh kuliah di Eropa, Amerika, Timur Tengah, namun jangan sekali-kali meninggalkan ngaji.