Muharram merupakan bulan pertama dalam sistem kalender Hijriah atau penanggalan Islam. Dengan begitu, awal tahun baru dalam Islam ditandai dengan masuknya bulan Muharram. Muharram memiliki banyak keistimewaan secara historis, di antaranya adalah dilipatkan pahala dalam beribadah dan bulan yang mustajab. Keistimewaan-keistimewaan tersebut dapat menjadi momen untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menjalankan amalan-amalan yang dianjurkan dan kegiatan ibadah lainnya.
Bulan Muharram senantiasa hadir membawa nuansa spiritual yang mendalam bagi kaum beriman. Ia bukan sekadar penanda awal tahun dalam kalender Hijriah, namun juga momen istimewa yang dipenuhi peluang amal, keberkahan, dan ampunan. Para ulama dan tokoh-tokoh besar Islam dari generasi salaf tidak melewatkan Muharram tanpa menyemai ketaatan yang tulus.
Dengan semangat cinta kepada Allah, mereka menjadikan bulan ini sebagai ladang untuk memperbanyak puasa, dzikir, dan taubat, sebagaimana yang tercermin dalam kisah hidup para ulama agung seperti Hasan al-Bashri, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, dan Ibnu Rajab al-Hanbali. Tulisan ini mengajak kita menelusuri jejak-jejak keteladanan mereka dalam menyambut dan memuliakan bulan Allah yang penuh cahaya ini.
Baca Juga
Bulan Muharram, Gak Boleh Nikah?
1. Imam Hasan Al-Bashri
Di sebuah masjid kecil di kota Bashrah, seorang tabi'in agung, Hasan al-Bashri, terlihat duduk bersimpuh dalam zikir yang khusyuk. Tatkala bulan Muharram tiba, wajahnya berseri, namun penuh kehati-hatian. Salah seorang muridnya bertanya,
"Wahai guruku, apa yang membuatmu begitu tekun di awal tahun ini?"
Beliau menjawab lirih, "Muharram adalah bulan Allah. Puasa di dalamnya adalah puasa yang paling utama setelah Ramadhan. Maka siapa yang mengawali tahunnya dengan taat, semoga sepanjang tahun ia dalam lindungan dan rahmat."
Tak hanya berpuasa di hari Asyura (10 Muharram), Hasan al-Bashri juga biasa berpuasa di sembilan hari sebelumnya, bahkan di sebagian besar hari Muharram. Ia berkata,
"Puasa ini bukan hanya menahan lapar, tapi menghijrahkan hati dari lalai menuju ingat kepada Allah." (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 83)
2. Imam Ahmad Bin Hanbal
Dalam kitab Masa’il yang ditulis oleh anaknya sendiri, disebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai orang yang sangat mencintai puasa-puasa sunnah, termasuk puasa Asyura. Ia berkata:
“Tidak ada hari puasa yang lebih utama setelah Ramadan selain Muharram.” (HR. Muslim no. 1163)
Meskipun beliau tengah diuji dengan fitnah besar saat masa Mihnah (pemaksaan pendapat Mu’tazilah oleh penguasa), beliau tetap berusaha menjaga puasa Asyura. Ia menasihati murid-muridnya agar tidak membiarkan hari penuh ampunan ini berlalu tanpa puasa, karena Rasulullah ﷺ bersabda:
“Puasa Asyura menghapus dosa-dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162)
3. Sahabat Ibnu Abbas
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas, sepupu Nabi ﷺ dan ahli tafsir agung, sangat menjaga puasa pada hari Asyura. Ia menceritakan sendiri bagaimana Nabi ﷺ begitu serius menjalankan puasa pada tanggal 10 Muharram, bahkan memerintahkan seluruh sahabat untuk berpuasa, bahkan anak-anak.
“Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Maka beliau bersabda:
‘Kami lebih berhak terhadap Musa daripada mereka.’
Lalu beliau berpuasa dan menyuruh kami untuk ikut berpuasa.” (HR. Bukhari no. 2004)
Ibnu Abbas pun mengajarkan pentingnya membedakan diri dari Yahudi dengan menambahkan puasa Tasu’a (9 Muharram) sebagai bentuk penyempurnaan sunnah.
4. Syaikh Ibnu Rajab Al-Hambali
Ibnu Rajab al-Hanbali: Mengabadikan Semangat Salaf Dalam kitabnya yang penuh faidah, Lathaif al-Ma’arif, Ibnu Rajab al-Hanbali mencatat bagaimana para salaf sangat menjaga puasa Asyura. Ia menulis:
“Sebagian salaf berpuasa sepanjang bulan Muharram seluruhnya, dan sebagian lainnya memperbanyaknya, karena mengagungkan bulan yang dimuliakan ini.” (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 71)
Ibnu Rajab menekankan bahwa semangat syukur Nabi Musa, teladan Nabi Muhammad ﷺ, dan kecintaan para salaf terhadap ampunan, semuanya bersatu dalam ibadah pada hari Asyura.