• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Minggu, 19 Mei 2024

Opini

Mbah Maemoen dan Istilah ‘Kitab Kuning’

Mbah Maemoen dan  Istilah ‘Kitab Kuning’
(Sumber : radarkudus.jawapos.com)
(Sumber : radarkudus.jawapos.com)

Istilah atau terma adalah sebuah kata yang disepakati oleh komunitas tertentu guna menunjukkan sebuah makna yang tertentu pula. Masing-masing komunitas memiliki istilahnya sendiri untuk menunjukkan segala sesuatu yang mereka kehendaki. Dan sangat sering terjadi perseteruan atau bahkan bentrokan antara satu orang dan yang lain atau antara satu kelompok dan lainnya hanya gara-gara kekeliruan serta salah dalam memahami makna dari istilah itu sendiri.

 

Pesantren sebagai sebuah tempat berkumpulnya komunitas santripun memiliki dan mengembangkan istilahnya sendiri. Dan istilah-istilah pesantren sering kali disalah pahami oleh komunitas lain diluar bilik-bilik pesantren. Bahkan tak jarang pula munculnya bermacam-macam stigma miring tentang pesantren ini juga karena kegagalan masyarakat umum dalam memahami istilah-istilah yang berkembang dalam dunia pesantren.

 

Salah satu istilah pesantren yang paling populer dan sampai sekarang masih sering penulis dengar adalah istilah “kitab kuning”. Secara umum, kalangan pesantren memahami bahwa istilah “kitab kuning” digunakan karena memang kitab-kitab tersebut dicetak pada kertas yang berwarna kuning walaupun sekarang ini tidak sedikit pula kitab-kitab yang sudah dicetak dengan menggunakan kertas berwarna putih. Namun, nampaknya Allah Yarham Syekh KH Maemoen Zubair mempunyai pengertian dan pemahaman lain terhadap penyematan istilah “kitab kuning” tersebut.

 

Setidaknya, selama penulis masih di pesantren dulu, penulis menemukan bahwa Mbah Moen—panggilan akrab almarhum Kiai Maemoen Zubair—dalam masalah ini mempunyai dua pendapat (qaulāni); pendapat beliau yang dulu (qaul qadīm) dan pendapat beliau yang terakhir (qaul jadīd). Walaupun pada dasarnya kedua pendapat beliau tersebut mempunyai satu muara yang sama, yakni jangan sampai ada penghinaan terhadap kitab-kitab Turāts yang merupakan buah karya para ulama kita terdahulu.

 

Qaul Qadīm

Pendapat Mbah Maemoen yang dulu atau pertama (qaul qadīm) adalah beliau melarang penggunaan istilah “kitab kuning” untuk menyebut kitab-kitab karya ulama klasik yang selama ini dijadikan rujukan dan mata pelajaran di berbagai pesantren tradisional. Kenapa demikian?

 

Hal ini tidak lebih karena beliau mempunyai dugaan kuat (dzan qawy)—dan memang dalam masalah ijtihad, dugaan (dzan) saja sudah bisa dijadikan pertimbangan guna menetapkan hukum—bahwa penyebutan “kitab kuning” mempunyai tujuan untuk menghina karya-karya para ulama klasik, sekaligus juga penghinaan terhadap kaum santri sebagai penerus tradisi ke-Ulama-an di Indonesia.

 

Memang sampai sekarang ini, penulis sendiri masih menelusuri dan mencari siapa sebenarnya orang yang memunculkan istilah “kitab kuning” pertama kali. Apakah memang benar ada sekelompok orientalis yang sengaja memunculkan istilah tersebut guna menghina pesantren dan ulama?

Data sementara yang bisa penulis temukan menyatakan bahwa seorang orientalis seperti Martin Van Bruinessen pun menyebut istilah “kitab kuning” karena kertasnya yang kuning, bukan karena menghina.

 

Penulis mendapatkan sebuah cerita yang diriwayatkan oleh teman karib penulis, Ustadz H Syarafuddin Ahmad, Lasem, bahwa Mbah Moen pernah dawuhan (menyatakan):

 

لأن أزني مرة واحدة أحب إلي من أن أقول كتاب كونيغ

 

Artinya: “Saya lebih suka melakukan zina sekali, dari pada harus menyebut (kitab Turat) dengan kitab kuning.”

 

Dawuh Mbah Moen tersebut, sepintas lalu memang terkesan ekstrim dan terlalu fanatik, akan tetapi bagi orang yang memahami kemana arah ungkapan Mbah Moen dan karena apa, pasti akan sangat maklum atau bahkan bisa menerima pendapat beliau tersebut. Zina memang dosa, dan bahkan termasuk salah satu dosa besar. Akan tetapi menyebut “kitab kuning” dengan tujuan menghina para ulama dan karya-karyanyapun adalah dosa besar, bahkan bisa menjadikan seseorang keluar dari Islam.

 

Alasannya penghinaan kepada  ulama (bukan pada sosoknya) artinya adalah penghinaan terhadap sesuatu yang merupakan syiar Islam. Sedang penghinaan terhadap syiar-syiar Islam bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam. Na’udzu billah.

 

Jadi, kalau kita runtut demikian, kita mungkin tidak akan janggal dengan ungkapan Mbah Moen—dan penulis kira, pemahaman di atas juga merupakan pemahaman kebanyakan ulama— bahwa dosa menyebut “kitab kuning” (karena tujuan menghina) itu lebih berat sanksi teologisnya dari pada berzina.

 

Adapun pelarangan beliau terhadap penggunaan istilah “kitab kuning” itu berdasarkan pada ayat Al-Qur’an yang berbunyi:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا  [البقرة/104]

 

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah berkata (kepada Muhammad), "Rā`inā", tetapi, katakanlah, "Unzhurnā”.

 

Berkenaan dengan ayat di atas, Imam al-Baidhawi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa dulu para sahabat selalu mengatakan kepada baginda Nabi Muhammad: “Rā’inā” yang berarti perhatikan dan pelan-pelanlah dalam menyampaikan apa saja kepada kami. Akan tetapi kebiasaan para sahabat ini dimanfaatkan oleh orang-orang Yahudi untuk menghina dan mencela baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekapun memanggil baginda Nabi dengan kata-kata: “Rā’inā”, akan tetapi makna yang mereka kehendaki ini berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh para sahabat.

 

Kata “Rā’inā” menurut mereka diambil dari kata “Ru’ūnah” yang berarti dungu. Atau menurut penjelasan Imam al-Baidhawi sendiri, kata “Rā’inā” yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi tersebut bisa saja berasal dari bahasa Ibrani yang bermakna cacian dan celaan. Walhasil, intinya orang-orang Yahudi mengucapkan kata-kata tersebut guna menghina dan mencela baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Oleh karena tingkah laku orang Yahudi tersebut, turunlah ayat ke-104 dari surat al-Baqarah yang intinya melarang para sahabat untuk memanggil baginda Nabi dengan kata “Rā’inā” dan menggantinya dengan kata “Unzhurnā” yang berarti pelan-pelanlah wahai baginda Nabi dalam mengajari kami. Nah, berangkat dari ayat di atas, Mbah Moen melakukan analogi (qiyās) antara kasus penyebutan “kitab kuning” dan penyebutan kata “Rā’inā”. 

 

Dengan melihat dan mempertimbangkan Asbābun Nuzūl ayat yang dituturkan oleh para sarjana tafsir (mufassir)—di antaranya adalah imam Al-Baidhawi sebagaimana tersebut di atas—Mbah Moen menyimpulkan bahwa ‘illat (alasan) dilarangnya para sahabat menyebut kata “Rā’inā” adalah karena adanya unsur penghinaan kepada baginda Nabi dalam kata tersebut. Begitu juga dengan kata “kitab kuning” yang menurut beliau juga mempunyai unsur penghinaan terhadap salah satu syi’ar Islam, dalam hal ini adalah ulama dan karya-karyanya.

 

Karenanya, beliau dengan tegas juga melarang penggunaan istilah “kitab kuning”. Disamping itu, apa yang Mbah Moen lakukan ini juga merupakan satu bentuk upaya sadddud dzarī’ah, yakni menutup potensi munculnya penghinaan terhadap ulama dan karya mereka. Sebagai solusinya, beliau menawarkan istilah “kitab salaf” sebagai ganti.

 

Qaul Jadīd

Pendapat kedua atau terakhir (qaul jadīd) Mbah Maemoen adalah beliau memperbolehkan penyebutan istilah  “kitab kuning”, asalkan tidak ada maksud dan tujuan untuk menghina kitab-kitab karya para ulama klasik tersebut. Pendapat kedua Mbah Moen ini pertama kali penulis dengar saat beliau menyampaikan mauidzoh dalam acara perayaan 1.000 hari umur beliau, sekitar tahun 1432 H yang lalu. Dan yang unik, dalam mauidzoh tersebut, Mbah Moen memberikan sebuah pemaknaan yang menurut penulis bisa dikatakan baru dalam memahami istilah “kitab kuning”. Entah bagaimana menurut yang lain, mungkin saja sudah mengetahui atau menemukannya terlebih dahulu.

 

Dalam mauidzoh tersebut, Mbah Moen mengatakan bahwa kata “kuning” dalam Bahasa Arab sepadan dengan kata “ashfar”. Kata “ashfar” ini berakar dari kata “shifr” yang berarti kosong. Lalu beliau melanjutkan bahwa kosong ini bisa bermakna memang “kitab kuning” kosong tanpa makna dan syakl, sehingga yang mampu untuk membaca sekaligus memahaminya hanyalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang baik dalam gramatika Arab.

 

Karenanya ada istilah lain yang sesuai dengan pemaknaan yang pertama ini, yaitu istilah “kitab gundul”. Tetapi disamping pemaknaan yang demikian, beliau mempunyai tafsiran lain terhadap kata “shifr” yang berarti kosong tersebut. Mbah Moen menyatakan bahwa makna dari kosong disini adalah bahwa setiap orang yang hendak mendalami “kitab kuning” dan mempunyai harapan untuk bisa mereguk kesejukan serta merasakan keindahannya, maka dia haruslah memulai dengan  mengosongkan jiwanya dari segala macam kesenangan duniawi.

 

Sependek pemahaman penulis, pemaknaan kata “kitab kuning” yang sedemikian rupa oleh Mbah Moen tersebut berdasarkan pada ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi:

 

قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاءُ فَاقِعٌ لَوْنُهَا تَسُرُّ النَّاظِرِينَ  [البقرة/69]

 

Artinya: “Musa menjawab, "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang berwarna kuning tua (merata) lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya”.

 

Menurut Mbah Moen—sebagaimana yang penulis dengar dan pahami—kata “baqarah” pada ayat di atas adalah sebuah isyarat untuk dunia. Penulis sendiri kurang  tahu secara pasti, dari mana Mbah Moen bisa menafsirkan bahwa “baqarah” adalah isyarat untuk dunia. Akan tetapi penulis pribadi mempunyai dugaan—hanya sebatas dugaan—bahwa Mbah Moen menafsirkan demikian berdasar tradisi orang Arab yang mau tidak mau juga menjadi latar belakang teks-teks suci Al-Qur’an maupun Hadits.

 

Pandangan orang Arab dahulu secara umum menuturkan bahwa seseorang dikatakan memiliki dunia, saat ia memiliki al-An’ām, yang berupa onta, sapi dan kambing. Sehingga dalam memberikan pemaknaan ala pesantren, kata “al-An’ām” biasa diterjemahkan oleh para kiai dengan bahasa Jawa “raja kaya”.

 

Berangkat dari sinilah akhirnya beliau menafsirkan kata “baqarah” dalam ayat tersebut dengan dunia. Sehingga kalau kata “baqarah” dihubungkan dengan kata “shafra’” yang berarti kuning atau lebih tepatnya kosong, maka hal itu memunculkan kesimpulan bahwa inti dari pengorbanan Bani Israil adalah mengosongkan kesenangan dunia dari diri dan jiwa mereka.

 

Saat Nabi Musa menyuruh mereka untuk menyembelih sapi dengan kriteria yang sedemikian rupa, maka sebenarnya mereka disuruh untuk menyembelih kesenangan dunia (hubbud dunya) yang bercokol kuat dalam diri mereka.

 

Mungkin ada yang menuduh bahwa apa yang Mbah Moen lakukan ini adalah tafsir utak atik mathuk. Ya silahkan saja, dan tuduhan yang demikian itu sah-sah saja bagi penulis asalkan berdasar ilmu. Sebab bagaimanapun, sebuah wacana dan kajian ilmiah itu adalah sesuatu yang sah-sah saja untuk dibela dan atau dikritik, asal pembelaan dan kritik tersebut dilakukan secara ilmiah pula.

 

Menurut pendapat penulis pribadi, praktek interpretasi yang dilakukan oleh Mbah Moen masuk dalam kategori tafsir isyāri yang banyak dilakukan oleh para kaum Sufi, sebut saja semisal Tafsir Lathāifu-l-Isyarāt-nya Al-Imam Al-Qusyairi sebagai contoh konkritnya.

 

Memang Mbah Moen sendiri tidak pernah—atau setidaknya penulis sendiri belum pernah mendengar—menyebutkan bahwa beliau menggunakan metode tafsir isyāri atau beliau menganut teori tafsir tertentu. Tapi setidaknya sebagai santri yang memiliki guru seorang mufassir, penulis harus berusaha untuk meneliti serta mengkaji tafsir, metodologi yang dipakai dan tentunya mau dibawa kemana arah tafsiran tersebut.

 

Setelah Mbah Moen menafsirkan ayat di atas, barulah beliau menghubungkan makna “kuning” yang berada pada kata “baqarah” dengan makna kuning yang menjadi istilah “kitab kuning”. Jadi yang dimaksud dengan “kitab kuning” versi Mbah Moen adalah kitab yang mengajak para pembacanya untuk mengosongkan jiwa dan hati mereka dari segala kesenangan dan nafsu duniawi.

 

Atau bisa juga diartikan bahwa “kitab kuning” adalah kitab yang maknanya bisa dibaca, dipahami serta dirasakan secara mendalam hanya oleh orang-orang yang hatinya telah kosong dari segala bentuk kesenangan duniawi. Dan Mereka inilah sosok-sosok yang disebut dengan ulama.

 

Walhasil, dari pembacaan dan kajian panjang di atas, penulis bisa menyimpulkan bahwa dalam menanggapi istilah “kitab kuning”, Mbah Maemoen memiliki dua pendapat (qaulāni), pendapat dulu (qadīm)  dan sekarang (jadīd). Pendapat Qadīm beliau adalah melarang secara mutlak atas istilah “kitab kuning”. Sedang pendapat jadīd beliau adalah diperbolehkannya penggunaan istilah “kitab kuning” selama tidak ada niat dan unsur menghina para ulama dan karya-karya mereka.

 

Jikalau hal ini penulis analogikan dengan pendapat Imam as-Syafi’i yang terbagi menjadi dua pula, qadīm dan jadīd, maka penulis bisa menyimpulkan bahwa pendapat Mbah Moen kedualah yang lebih tepat dan cocok untuk kita pakai sekarang. Wallahu a’lam bis shawab.

 

Ustadz Dhiya Muhammad, pengajar pada Pondok Pesantren Al-Misykat, Sayung, Demak.


Opini Terbaru