• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 25 April 2024

Kiai NU Menjawab

Manakah Lebih Afdhal, Shalat Tarawih 20 Rakaat atau 8?

Manakah Lebih Afdhal, Shalat Tarawih 20 Rakaat atau 8?
Ilustrasi
Ilustrasi

 

Assalamu 'alaikum war. wab.


Kepada Yth Pengasuh Kanal Kiai NU Menjawab,


Mohon tanya kiai. Manakah lebih afdhal, shalat tarawih dengan jumlah rakaat 8 atau  20? Hal ini perlu saya tanyakan sehubungan salah seorang ustadz di kampung saya mengatakan lebih bagus sahalat tarawih dengan jumlah rakaat 8 dari pada 20. Menurutnya shalat tarawih dengan jumlah rakaat 8 bersumber dari hadist langsung,  sedangkan 20 rakaat  hanya pendapat imam madzh. Mohon penjelasan. Atas jawaban kiai, kami sampaikan terima kasih.

Wassalamu'alaikum war. wab.


(Hamba Allah)

 

Jawaban

 

Wa'alaikum salam war wab

 

Praktik shalat tarawih sering menjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai, bahkan sudah sampai pada tingkat klaim bahwa shalat tarawih 20 rakaat adalah bid’ah dengan alasan  shalat tarawih dengan jumlah rakaat 8 sesuai dengan tuntunan Rasulullah. 


Perdebatan liar ini biasanya  muncul seiring datangnya bulan suci Ramadhan, para ustadz mulai berceramah menerangkan tata cara melaksanakan shalat tarawih menurut keyakinan mereka masing–masing dan saling mengklaim kebenaran atas kelompok lain sehingga debat kusir dalam masalah ini tidak bisa dielakkan, debat yang terkadang bermula dari kebencian bukan pada tradisi keilmuan dengan pendekatan dalam memahami secara kritis sumber–sumber dalil yang berkaitan dengan tatacara shalat Tarawih.


Untuk menyikapi permasalahan ini mari kita kaji pendapat para ulama’ dengan berbagai dalil-dalil argumentasinya, agar kita tidak terjebak dalam perdebatan yang justru akan merugikan ukhuwah islamiyah kita.


Para ulama memang dari zaman dahulu sudah berbeda pendapat dalam tata cara dan jumlah shalat tarawih. Ada yang mengatakan 8 rakaat dan ada juga yang mengatakan 20 rakaat. Kedua kelompok tersebut sama-sama mempunyai alasan dan landasan dalil yang kuat.


Ø    Kelompok pertama berpendapat bahwa jumlah shalat tarawih adalah 8 rakaat berlandaskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Salamah:


عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ - رضي الله عنها -: كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ؟ قَالَتْ: مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا. فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ؟ قَالَ: تَنَامُ عَيْنِي وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي. (صحيح البخاري: 7 / 134، رقم: 1874).

 

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia pernah bertanya kepada Aisyah r.a: “Bagaimana shalat Nabi Muhammad di bulan Ramadhan?” Aisyah menjawab,“Beliau tak menambah pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat: shalat empat rakaat, yang betapa bagus dan lama, lantas shalat  tempat rakaat, kemudian tiga rakaat. Aku pun pernah bertanya: Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum menunaikan shalat witir? Beliau menjawab: “mataku tidur, tapi hatiku tidak”. (Shahih al-Bukhari, juz: 7, hal: 134, no: 1874).


Ø    Kelompok kedua berpendapat bahwa jumlah shalat tarawih adalah 20 rakaat berlandaskan sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Yazid bin Khushoifah dari al-Saib bin Yazid:


عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ : كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً - قَالَ - وَكَانُوا يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينِ، وَكَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عُصِيِّهِمْ فِى عَهْدِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ. أخرجه البيهقي (2 / 496) وصححه النووي في المجموع والزيلعي في نصب الراية والعلماء كافة. (إعلام الأنام شرح بلوغ المرام للشيخ نور الدين عتر: 1 / 79).

 

Artinya: Diriwayatkan dari Yazid bin khushoifah dari al-Sa’ib bin Yazid, beliau berkata: “Para Sahabat di masa Umar bin khattabr.a. melakukan qiyamullail(beribadah di tengah malam) di bulan Ramadlan 20 rakaat dengan membaca 200 ayat, sedangkan pada masa Utsman r.a. mereka bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri”. (HR. Al Baihaqi (2/496), dan dinilai sahih Imam Nawawi dalam kitab Majmu, Imam Zaila’i dalam kitab Nasb al-Rayah, dan mayoritas ulama. (Nuruddin Iter, I’lam al-Anam Syarh Bulugh al-Maram: juz: 1, hal: 79)

 

Hadits lain yang juga menjadi dasar adalah:

 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن جَعْفَرٍ الرَّازِيُّ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بن الْجَعْدِ، حَدَّثَنَا أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بن عُثْمَانَ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ مِقْسَمٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ. (المعجم الكبير للطبراني: 10 / 86).

 

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far ar-Razi, Ali bin al-Ja’di, Abu Syaibah bin Utsman dari al-Hakam dari Miqsam dari IbniAbbas, beliau berkata : “Dahulu Nabi SAW melaksanakan shalat (tarawih) di bulan ramadlan 20 rakaat dan shalat witir”. (HR. Al-Thabarani, al-Mu’jam Kabir,  juz: 10, hal: 86).

 

Berdasarkan  hadits-hadits di atas sebenarnya tak ada masalah jika ada yang melakukan shalat tarawih 8 rakaat, 20 rakaat, atau hanya dua rakaat saja. Namun Ahli Madinah (penduduk Madinah) melakukan shalat tarawih dengan 36 rakaat, seperti yang dijelaskan oleh As-Sayyid Muhammad As-Syathiri dalam Syarah Yaqut-nya sebagai berikut:


وَأَقَلُّ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَانِ، وَأَكْمَلُهَا عِشْرُوْنَ. وَقَالَ مَالِكٌ: سِتَةٌ وَثَلَاثُوْنَ وَهُوَ عَمَلُ أَهْلِ المَدِيْنَةِ، وَقَالُوا: إِنَّهُمْ أَرَادُوا مُسَاوَةَ أَهْلِ مَكَّةَ، لِأَنَّهُمْ يَطُوْفُوْنَ سَبْعًا بَيْنَ كُلِّ تَرْوِيْحَتَيْنِ، فَجَعَلَ أَهْلُ المَدِيْنَةِ مَكَانَ كُلِّ سَبْعٍ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ. شرح الياقوت النفيس: 194.

 

Artinya: “Paling sedikitnya rakaat Tarawih 2 rakaat, sedangkan yang paling sempurna 20 rakaat. Dan Imam Malik berkata: 36 rakaat dan itulah yang dilakukan Ahli Madinah, ulama’ Malikiyyah mengatakan: “Ahli Madinah berkehendak menyamakan ibadahnya dengan Ahli Makkah, sebab Ahli Makkah melakkukan thawaf tujuh kali putaran di antara dua tarwihan (dua istirahatan), kemudian Ahli Madinah menjadikan posisi setiap tujuh kali putaran dengan melakukan shalat 4 rakaat”. (Muhammad As-Syathiri, Syarah Al-Yaqut An-Nafis, hal. 194).

 

Akan tetapi permasalahan justru muncul ketika ada orang yang melakukan shalat tarawih 8 rakaat dan witir 3 rakaat, kemudian menganggap orang yang melakukan lebih dari hitungan itu adalah bid’ah dan menyimpang dari Sunnah Rasulullah.

 

Pada dasarnya shalat tarawih tidak dibatasi oleh Rasulullah SAW. Hanya saja ada sekelompok orang yang kurang tepat dalam memahami sebuah hadits lalu menganggapnya sebagai dasar shalat Tarawih Rasulullah. Untuk memperjelas masalah ini marilah kita kaji seperti apa sebenarnya shalat tarawih Rasulullah, yang kemudian dilakukan oleh para sahabat, para tabi’in dan para imam madzahib.

 

Shalat tarawih, termasuk qiyamullail (ibadah malam) di bulan suci Ramadhan, merupakan shalat sunnah muakkad yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat yang semula dilakukan sendiri-sendiri tetapi pada akhirnya dilakukan secara berjamaah sebagaimana dikisahkan dalam hadits berikut ini:

 

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَان. صحيح البخاري: 4 / 290. 

 

Artinya: Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah r.a. beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi SAW, shalat di masjid kemudian diikuti orang-orang, kemudian shalat lagi di malam berikutnya maka orang-orang yang shalat semakin banyak. Kemudian di malam ketiganya orang-orang telah berkumpul (di masjid) akan tetapi Rasulullah SAW tidak keluar. Ketika tiba di pagi harinya Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, (sebenarnya) tiada yang menghalangiku keluar kepada kalian melainkan aku takut shalat tarawih diwajibkan atas kalian”. Dan kejadian itu di bulan Ramadhan”. (HR. al-Bukhari: 4/290).

 

Ketika para sahabat mengetahui alasan tidak keluarnya Rasulullah itu, yakni karena khawatir shalat tarawih diwajibkan kepada mereka. Jadi bukan karena pada qiyamullail tersebut ada pelanggaran menurut syariat sehingga malam berikutnya para Sahabat tetap berangkat ke masjid dan melakukan shalat di dalamnya. Sebagian ada yang shalat sendirian dan sebagian yang lain ada yang shalat berjamaah, dan hal ini berlangsung sampai masa pemerintahan Sayyidina Umar r.a.

 

Di masa pemerintahan Sayyidina Umar r.a. shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dan dengan cara berjamaah yang mana saat itu tidak ada satu sahabatpun yang mengingkarinya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sayyidina Abdurrahman bin Abdulqori dalam  sebuah hadits sebagai berikut:

 

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَه ". (رواه البخاري: 7/135، والموطأ: 1/83، والبيهقي: 2/493)

 

Artinya: “Suatu ketika aku keluar ke masjid bersama Umar Bin Khattab r.a. pada suata malam di bulan Ramadhan, sedangkan orang-orang terpisah-pisah, ada yang shalat sendirian ada pula yang shalat kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Kemudian Umar berkata: “Sungguh aku memandang andai aku kumpulkan mereka pada satu Imam tentunya itu lebih baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka pada Ubay Bin Ka’ab. Kemudian aku keluar bersama Umar pada malam lainya sedangkan orang-orang shalat dengan Imam mereka, kemudian Umar berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini, sedangkan yang tidur terlebih dahulu kemudian bangun beribadah di akhir malam itu lebih utama dari pada yang melakukannya di awal malam”. (HR. Al-Bukhori: 7/135, Al-Muwattha: 1/83, Al-Baihaqi: 2/493).

 

Sahalat tarawih dengan 20 rakaat dan dilaksanakan secara berjamaah ini belum pernah ada sebelum masa ke khalifahan Sayyidina Umar dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya karena mereka tahu bahwa apa yang dilakukan Umar tidaklah menyalahi Sunnah. 

 

Rasulullah SAW ketika memutuskan untuk tidak keluar di malam ketiga Ramadhan hanya karena beliau khawatir qiyamullail tersebut dianggap wajib atas umatnya. Dan di sana tiada suatu hal yang mencegah shalat tarawih berjamaah pada satu imam di masjid. Apalagi shalat berjamaah itu tentunya lebih utama dan lebih banyak pahalanya. 

 

Kembali ke pertanyaan semula, lebih bagus mana  shalat tarawih dengan 8 rakaat atau 20 rakaat?

 

Dari pemaparan  di atas tentu kita sudah bisa menarik kesimpulan bahwa shalat tarawih 20 rakaat tidak menyalahi sunnah Rasulullah SAW bahkan lebih afdhal dari pada yang lain.

 

Sedangkan mengenai hadist yang menerangkan bahwa Rasulullah melakukan shalat Tarawih hanya 8 rakaat, Imam al-Bujairimi dalam Hasyiyah ‘Ala al-Khatib-nya menjelaskan bahwa memang Rasulullah dan para Sahabat di zaman itu hanya melakukan Qiyamullail 8 rakaat, akan tetapi setelah itu mereka menyempurnakannya sampai 20 rakaat di rumah masing-masing. Berikut ini redaksinya:

 

فَإِنْ قُلْتَ : أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ التَّرَاوِيحَ عِشْرُونَ رَكْعَةً وَالْوَارِدُ مِنْ فِعْله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ.
قُلْتُ : أُجِيبَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يُتَمَّمُونَ الْعِشْرِينَ فِي بُيُوتِهِمْ بِدَلِيلِ أَنَّ الصَّحَابَةَ إذَا انْطَلَقُوا إلَى مَنَازِلِهِمْ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الدَّبَابِيرِ، وَإِنَّمَا اقْتَصَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الثَّمَانِ فِي صَلَاتِهِ بِهِمْ وَلَمْ يُصَلِّ بِهِمْ الْعِشْرِينَ تَخْفِيفًا عَلَيْهِمْ ا هـ ا ج. (البجيرمي على الخطيب: 3/472).

 

Artinya: “Jika engkau mengatakan: “Ulama’ telah ijma’ bahwa Tarawih adalah 20 rakaat, namun tuntunan Rasulullah SAW bahwa Tarawih 8 rakaat”. Maka saya menjawab: “Memang mereka melakukan di masjid hanya 8 rakaat, akan tetapi mereka menyempurnakan sampai 20 rakaat di rumah masing-masing dengan dalil sesungguhnya para Sahabat ketika pulang ke rumah mereka terdengar suara dengungan seperti dengungan lebah. Sesungguhnya Rasulullah hanya melakukan 8 rakaat dalam shalatnya dan tidak melakukan 20 rakaat bersama mereka, tidak lain hanya untuk meringankan beban mereka”. (Al-Bujairimi, ‘Ala al-Khatib: 3/472).

 

Adapun dalil-dalil lain yang menguatkan pendapat yang mengatakan shalat tarawih adalah 20 rakaat adalah: 

 

1.    Shalat tarawih 20 rakaat telah dilakukan oleh para Sahabat Nabi yang sudah pasti adilnya, mulai dari masa kekhalifahan Sayyidina  Umar bin khattab dan berlanjut dari generasi ke generasi.
2.    Adanya anjuran untuk memperbanyak kebaikan dan utamanya ibadah shalat, dengan bersandar pada sebuah hadist berikut:
3.    

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"الصَّلاةُ خَيْرُ مَوْضُوعٍ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَسْتَكْثِرَ فَلْيَسْتَكْثِرَ". (المعجم الكبير للطبراني: 19/116).

Artinya: Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Shalat itu sebaik-baiknya yang diletakkan (yang disyariatkan), barang siapa mampu memperbanyaknya, maka perbanyaklah”. (Al-Mu’jam Al-Kabir Al-Thabarani: 19/116).

4.    Perintah Nabi untuk mengamalkan sunah Khulafaur Rasyidin yang dijelaskan dalam hadits :


عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيْنَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذ. (رواه أحمد: 4/126، وأبو داود: 4607).
 

Artinya: “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin yang mendapatkan hidayah setelahku, berpegang tegunglah dengan kuat sunnah tersebut”. (HR. Ahmad: 4/126, Abi Dawud: 4607).

 

Wallahu a’lam bisshawab.

 

KH. Habibul Huda Bin Najid, Pengurus Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Tengah.

 

 

 


Kiai NU Menjawab Terbaru