• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Jumat, 3 Mei 2024

Keislaman

Memaknai Jihad Terhadap Penguasa

Memaknai Jihad Terhadap Penguasa
Ilustrasi
Ilustrasi

Sistem pemerintahan demokrasi sedikit banyak membuka ruang-ruang bagi masyarakat, rakyat untuk melihat, mencermati dan bahkan mengevaluasi setiap kebijakan pemerintah. Ini berbeda dengan sistem monarkhi yang cenderung tertutup, sentralistik dan bahkan tirani. Walaupun memang sebagai sebuah sistem rancangan manusia setidaknya demokrasi lebih banyak dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia saat ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

 

Dalam hadits Rasulullah dijelaskan bahwa pemerintah atau pemimpin bukan kekuasaan yang boleh berlaku sewenang-wenang namun justru kekuasaan adalah wilayah pengabdian bagi rakyat bagi para pemangku kekuasaan itu,

 

 سيِّدُ القَومِ خادمُهُم

Artinya: “Pemuka kaum adalah pelayan kaum tersebut," (HR. Ibnu Asakir).

 

Pemimpin adalah pelayan bagi rakyat dan masyarakat yang dipimpin dan ini dijalankan penuh oleh Rasulullah dan penganti (kholifah) setelahnya. Dengan mencermati sejarah ditemukan fakta sikap melayani dan mementingkan rakyat adalah hal yang tidak bisa ditawar oleh Rasulullah . Tidak ada kata ‘tidak’ bagi kepentingan masyarakat bagi Rasulullah dan Khalifah setelahnya.

 

Ruang publik Nabi dan sahabat, begitu juga khalifah setelah sangat terbuka sekali bagi masyarakat. Semuanya bisa dengan mudah bertemu dan menyampaikan keluh-kesahnya tanpa pola birokrasi karena memang sistem masih sangat sederhana. Bahkan dalam satu riwayat, Nabi pernah di protes sahabat atas satu kebijakan yang dianggap kurang adil. Riwayat ini muttafaqun 'alaih, tercantum dalam shahih Bukhari Kitab al-Maghazi dan Shahih Muslim Kitab al-Zakah. Apa yang dilakukan Nabi tentu sebuah pelajaran dan modal bagi umat Islam untuk adaptif dengan sistem politik modern dan realistis terhadap kenyataan saat ini.

 

Maka jika kemudian sikap oposisi rakyat terhadap penguasa dilegitimasi sebagai bagian dari jihad tentu dengan prasyarat yang difahami secara tepat, benar bahwa Rasulullah bersabda:

 

أفضلُ الجهادِ كلمةُ عدلٍ عند سُلطانٍ جائرٍ – أو أميرٍ جائرٍ -

 

Artinya: “Seutama-utamaya jihad adalah kata yang adil dihadapan penguasa yang dhalim," (HR Abu Dawud).

 

Bentuk nasehat yang ditujukan kepada penguasa adalah bentuk jihad ketika mendapati kebijakan penguasa jauh dari keberpihakan kepada rakyat atau bahkan cenderung tidak adil. Sejarah ini dilakukan dengan bijak oleh para ulama, namun perlu difahami hal ini dilakukan dengan cara yang bijak, santun dan tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat.

 

Ada catatan menarik yang ditulis oleh Imam Ghazali dengan judul lengkap Maqamat al-'Ulama Bain Yaday al-Khulafa' wal al-Umara' tentang bagaimana sikap ulama dihadapan penguasa atau mara.

 

Pemahaman yang perlu dijadikan landasan adalah makna jihad kepada penguasa bukan berarti mengangkat senjata dan perang melawan penguasa sekalipun penguasa yang otoriter. Hadits yang terkait diatas justru memberi arahan bahwa justru yang perlu disampaikan kepada penguasa sebagai upaya jihad adalah kalimat yang lembut, santun dan bijak. Pemahaman di atas diperjelas dengan riwayat hadits lain, yakni Rasulullah bersabda :

 

مَن كانت عندَهُ نصيحةٌ لِذي سُلطانٍ فليأخذْ بيدِهِ فلْيخلُ فليخلوا الصواب فلْيخلُ بهِ فإن قبلَها قبلَها وإن ردَّها كانَ قد أدّى الَّذي عليهِ

 

Artinya: "Barangsiapa hendak menasehati pemerintah, maka jangan dengan terang-terangan di tempat terbuka. Namun jabatlah tanganya, ajaklah bicara di tempat tertutup. Apabila nasehatnya diterima, bersykurulah. Bila tidak diterima, maka tidak mengapa sebab sungguh ia telah melakukan kewajibannya dan memenuhi haknya," (HR Hakim).

 

Sikap adil dan bijak demi kemaslahatan masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara selayaknya selalu menjadi pijakan, sebagaimana ditulis oleh Imam Fakhrudin ar-Raziy dalam tafsir beliau terkait ayat 8 surat Al-Maidah:

 

 لا يَحْمِلَنَّكم بُغْضُ قَوْمٍ عَلى أنْ تَجُورُوا عَلَيْهِمْ وتُجاوِزُوا الحَدَّ فِيهِمْ، بَلِ اعْدِلُوا فِيهِمْ وإنْ أساءُوا إلَيْكم، وأحْسِنُوا إلَيْهِمْ وإنْ بالَغُوا في إيحاشِكم، فَهَذا خِطابٌ عامٌّ، ومَعْناهُ: أمَرَ اللَّهُ تَعالى جَمِيعَ الخَلْقِ بِأنْ لا يُعامِلُوا أحَدًا إلّا عَلى سَبِيلِ العَدْلِ والإنْصافِ، وتَرْكِ المَيْلِ والظُّلْمِ والِاعْتِسافِ.

 

Artinya: "Janganlah kemarahanmu pada suatu kaum mengarahkanmu untuk berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas, akan tetapi bersikaplah adil pada mereka. Meskipun mereka berbuat buruk padamu, dan bersikaplah baik pada mereka meskipun mereka sangat menakut-nakutimu. Ayat ini disampaikan secara umum dan memiliki arti tentang perintah Allah pada seluruh makhluk agar tidak bersikap kepada orang lain kecuali secara adil, tidak condong pada salah satu pihak, tidak dzalim dan tidak sewenang-wenang. (Fakhruddin Al-Razzy, Mafatih Al-Ghoib, [CD: al-maktabah al-syamilah] XI/143).

 

Bersikap proporsional atau dalam bahasa agama adil adalah bagian dari sikap insan yang beragama dalam suasana dan status apapun seseorang berada. Sikap ini melahirkan keseimbangan yang riil dalam pola kehidupan dan relasi hubungan masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah kehidupan masyarakat yang serasi dan tenang.

 

Abdul Aziz Idris, wakil katib PCNU Magelang


Keislaman Terbaru