Keislaman

Gratifikasi dalam Islam: Antara Hadiah atau Suap

Senin, 16 September 2024 | 09:00 WIB

Isu gratifikasi sering kali menjadi topik menarik dalam diskusi mengenai etika, hukum dan pengelolaan keuangan. Terutama dalam lingkaran kekuasaan dalam pemerintahan. Islam memandang gratifikasi dan hadiah memiliki makna serta implikasi yang berbeda namun memiliki kesamaan yang tipis.


Pada Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dijelaskan tentang gratifikasi mencakup berbagai jenis pemberian yang lebih luas. Ini termasuk pemberian uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, serta tiket perjalanan. Semua bentuk pemberian ini dianggap sebagai gratifikasi jika diterima dalam konteks yang tidak sesuai dengan ketentuan. Selain itu, gratifikasi juga meliputi fasilitas seperti penginapan, perjalanan wisata dan pengobatan gratis. Semua fasilitas tambahan ini, jika diberikan dalam konteks tertentu juga termasuk dalam kategori gratifikasi menurut penjelasan tersebut. (Lihat dalam Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Nasional dan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 146)

Definisi Gratifikasi Perspektif Islam

Gratifikasi adalah bentuk pemberian atau "hadiah" yang diterima seseorang di luar hak atau gaji yang seharusnya mereka terima. Pemberian ini sering kali dilakukan dengan tujuan tertentu, seperti mempengaruhi keputusan atau mendapatkan keuntungan pribadi. Gratifikasi pada umumnya melibatkan situasi dimana pemberian tidak dilakukan dengan transparansi atau integritas dan dapat merugikan pihak lain. (Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 211).


Sebaliknya, hadiah dalam Islam adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan. Hadiah diberikan dengan niat tulus untuk memuliakan hubungan dan tidak ada tendensi negatif atau pamrih di baliknya. Dalam ajaran Islam, pemberian hadiah adalah sesuatu yang dianjurkan, selama tidak ada tujuan tersembunyi yang merugikan pihak lain.


Rasulullah saw menjelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Dawud melalui Sayyidatina Aisyah RA menunjukkan bahwa membalas pemberian dengan pemberian lainnya adalah diperbolehkan. Sayyidatina Aisyah RA menyampaikan:
Berikut adalah teks hadis dalam bahasa Arab:

رَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: "كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيَرُدُّهَا". (رواه البخاري، والترمذي، وأبو داود، وأحمد)


Diriwayatkan oleh 'Aisyah Ra. berkata: "Rasulullah saw menerima pemberian   hadiah   dan   membalasnya".   (HR   Bukhari, Tirmidhi, Abu Daud, Ahmad). (Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash'ath Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hal. 497.)


Secara umum, hadis di atas menjelaskan bahwa membalas suatu kebaikan dengan kebaikan lainnya atau bahkan yang lebih mulia hukumnya diperbolehkan. Sama seperti memberi salam, balasan terhadap salam dapat berupa salam yang sama atau bahkan lebih baik.


Adapun di hadis lainnya menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh menolak pemberian yang diberikan dengan tulus dan tanpa niat buruk. Sebagaimana hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Nabi Muhammad saw bersabda:


“Kalau  aku  diundang  untuk  menyantap  kaki  kambing  depan dan  belakang,  niscaya  aku  penuhi  dan  kalau  dihadiahkan  kepadaku kaki   kambing   depan   dan   kaki   kambing   belakang,   niscaya   aku menerimanya”. (Abu Dawud Sulaiman bin al-Ash'ath Al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005, hal. 212.)
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa perbedaan antara hadiah yang diperbolehkan dan praktik gratifikasi cukup signifikan. Hadis-hadis Rasulullah saw menunjukkan bahwa menerima hadiah yang diberikan dengan niat baik dan tulus adalah sesuatu yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Namun, gratifikasi sering kali memiliki tujuan yang berbeda. Praktik gratifikasi biasanya dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang merugikan orang lain atau merusak sistem, sedangkan hadiah dalam konteks Islam dimaksudkan untuk saling membantu, meningkatkan kerjasama dan memuliakan orang lain. Gratifikasi yang menargetkan keuntungan pribadi atau merugikan pihak lain jelas berbeda dari hadiah yang memiliki tujuan untuk membangun hubungan yang harmonis dan positif.


Akibatnya dari praktek gratifikasi sangat merusak tatanan negara. Ketika gratifikasi dilakukan, kepercayaan publik terhadap para pelaku bisa hilang dan ini menimbulkan sikap saling curiga serta tuduh menuduh di masyarakat. Orang-orang yang merasa dirugikan dapat menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk ketidakadilan yang pada akhirnya memicu ketegangan sosial dan ketidakstabilan. Jika gratifikasi terus dibiarkan, hal ini bisa menyebabkan negara menjadi tidak terkendali dan bergerak menuju kemunduran demokrasi. Sebaliknya, hadiah yang diberikan dengan niat baik dapat mempererat hubungan antar anggota masyarakat. Keharmonisan dalam masyarakat akan lebih mudah tercipta ketika anggota masyarakat saling mendukung dan memberikan perhatian satu sama lain.


Oleh karena itu, segala bentuk praktek yang dapat merugikan negara apa pun bentuknya dan siapa pun pelakunya, terutama mereka yang memegang amanah dalam pemerintahan tidak boleh dibiarkan dan harus ditindak tegas. Tindakan hukum yang tegas diperlukan untuk memastikan keadilan ditegakkan di masyarakat. Menegakkan keadilan adalah tujuan utama dalam syariat Islam, yang merupakan ketentuan atau hukum Allah. (Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Jakarta: Amzah, 2005, hal. 204).


Gratifikasi dan Dampaknya dalam Masyarakat

Gratifikasi dalam konteks jabatan atau kewenangan dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Ketika gratifikasi digunakan untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan seseorang dalam posisi jabatan hal ini dapat mengakibatkan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik. Penerimaan gratifikasi dapat menyebabkan praktik suap, yang merupakan tindakan yang sangat buruk dalam Islam.


Gratifikasi sering kali melibatkan pemberian yang tidak transparan dan dapat merusak integritas sistem. Ketika seseorang menerima gratifikasi, mereka mungkin merasa terikat untuk memenuhi permintaan atau harapan pemberi gratifikasi yang dapat mengarah pada keputusan yang tidak adil atau merugikan pihak lain. Hal ini dapat menyebabkan ketidakstabilan dan bahkan kehancuran dalam masyarakat jika tidak ditangani dengan serius.


Peringatan dalam Al-Qur'an

Al-Qur'an juga memberikan peringatan tentang bahaya memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Allah swt melarang penggunaan harta secara tidak sah dan suap kepada para pelaku yang dalam hal ini adalah pejabat pemerintahan. Dalam sebuah ayat, Allah swt berfirman:


وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَࣖ


Artinya: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 188)


Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga keadilan dan tidak menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Larangan ini menunjukkan bahwa memanfaatkan jabatan atau kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui gratifikasi adalah tindakan yang sangat dilarang dalam Islam.


Dalam ajaran Islam, hadiah dan gratifikasi memiliki makna dan implikasi yang berbeda. Hadiah yang diberikan dengan niat baik adalah sesuatu yang dianjurkan, sedangkan gratifikasi yang melibatkan tujuan tersembunyi atau kepentingan pribadi adalah sesuatu yang dilarang. Praktik gratifikasi dapat merusak integritas dan keadilan, serta mengancam stabilitas dan keharmonisan masyarakat.


Penting untuk membedakan antara hadiah yang memuliakan atau membantu orang lain dan gratifikasi yang merugikan. Menjaga transparansi dan integritas dalam setiap tindakan serta mematuhi ajaran Islam adalah kunci untuk memastikan bahwa pemberian dan penerimaan hadiah tidak merusak keadilan dan kepercayaan publik.