Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra

Opini

Kaum Muda NU: Sebuah Pertanyaan

ilustrasi (sumber: NU Online)

“Angkatan Muda NU adalah kader, pewaris dan penerus perjuangan. Mereka adalah pemuda-pemuda yang terdiri dari: (1) Para pemuda dan santri, (2) Para pelajar dan mahasiswa, dan (3) Para sarjana. Mereka adalah: Tenaga-tenaga pelaksana yang hidup dinamis dan kritis di masa kini dan harapan untuk tenaga pemimpin di masa depan.”
(KH Achmad Siddiq)

Perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tak dapat dipisahkan dengan keberadaan generasi mudanya. Dalam dinamika dan perkembangan zaman, mereka mengisi hamparan dimensi ruang dan waktu dalam jalan peradaban. Realitas mesti dipandang sebagai konsekuensi pertanggungjawaban dalam andil sebagai bagian dari kehidupan. Kesadaran diri akan konsekuensi tersebut tak lain sebagai daya upaya untuk mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Sebagaimana konsep kerap diutarakan di NU berupa: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Sejarah menjadi artefak kehidupan sekaligus sebagai sarana tilikan mendalam pada masa lalu, guna bekal menghadapi saat ini-sedang berjalan dan mempersiapkan masa depan. Generasi muda NU melayarkan sebuah lanskap pada tiap masa. Kalau ditarik mulai pasca kemerdekaan, sampai sejauh ini setidaknya telah melalui tiga fase penting: Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Di tengah hingar-bingar perhatian akan kompleksitas zaman, agaknya saat ini ada satu hal penting dan terasa berat terhadap keberadaan generasi muda NU. Khususnya berkaitan dengan pola intelektual.

Situasi tersebut berdasar pada kondisi politik terjadi. Ini menandaskan akan cara memposisikan diri terhadap relasi kuasa. Terhadap relasi kuasa, memang tak terlepas dengan kekhawatiran akan keluputan pada banyak hal. Di awal reformasi, muncul gebrakan di kalangan anak muda NU untuk menjadi motor perubahan dengan fase mulai merambah anak muda di perguruan tinggi, kekayaan intelektual, dan pembacaan terhadap marjinalisasi dalam realitas masyarakat. Kondisi tersebut dikenal dengan kultur hibrida anak muda NU.

Hairus Salim HS dan Muhammad Ridwan (1999) menyebutkan bahwa mereka adalah kaum muda yang tekun dan sabar bergiat di jalur kultural. Orientasi terbangun pada pengembangan dan pembangunan masyarakat sipil secara gradual, dengan perhatian pada penumbuhan sikap pluralisme, penghormatan pada demokrasi dan hak asasi, dan peningkatan kemakmuran dan keadilan sosial. Itu merujuk pada kesadaran bukan di jalur politik partai yang lebih menjanjikan dan penuh gemerlap.

Agaknya kalau kita analisis dalam situasi saat ini, kondisinya terbalik. Muncul kekhawatiran akan paradigma kaum muda NU dalam membangun orientasinya pada dinamika perpolitikan yang ada. Ancaman terbesar tentu saja adalah mulai minim anak muda yang merelakan diri dalam akar rumput terhadap isu-isu menyangkut banyak masyarakat. Sebab, ruang itu, di satu sisi tidak menjanjikan kemewahan, bahkan cenderung anti-kemapanan, di sisi lain paradigma di NU sendiri juga sangat berpengaruh.

NU dan Demokrasi

NU memiliki landasan jelas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Bahwa keberadaan demokrasi mesti disokong dengan berbagai aspek guna mewujudkan cita-cita berdasarkan amanat konstitusi. Sebab demokrasi bukanlah sebuah sistem sempurna-ia menunjukkan kelemahan dengan ragam wujudnya, maka silih berganti terus perlu ditambal. Setiap warga negara memiliki hak dalam berbagi andil dalam kehidupan demokrasi. Demokrasi tidak didasarkan pemaksaan kehendak. Ia dibangun dengan mengedepankan kebebasan berpendapat.

Telaah dalam perkembangan demokrasi Indonesia sejauh ini acapkali menghadirkan kondisi paradoks. Ketika menilik analisis dari Marcus Mietzner (2019), dalam beberapa tahun keberjalanan reformasi sejauh ini muncul gejala otoritarianisme. Dalam gejala tersebut, rakyat menjadi pertaruhannya terkait keadilan dan kesejahteraan. Situasi politik yang sedang berlangsung mengharuskan NU sebagai jamiyah perlu merespons sebagai tanggung jawab keberpihakan. Mengembalikan hak banyak orang.

Bukti kuat terjadi saat NU lewat organisasinya dengan tegas menolak UU Cipta Kerja dengan risiko yang termunculkan menjadi tilikan penting, selain sikap lain terlontarkan kepada pemerintah sebagai kritik terhadap kebijakan yang menimbulkan masalah. Cendekiawan NU, Ulil Abshar Abdalla menyebut itu sebagai bangkitnya kembali sikap kritis dalam tubuh NU. Lewat esainya berjudul Merayakan Kembalinya Sikap Kritis NU (2020), ia juga menyebut: arus kritis yang selama ini mengalami hibernasi muncul kembali ke permukaan, mengalami “resuitasi”.

Fajar abad kedua perjalanan NU telah menyingsing dan mengharuskan disambut. Kita mengidealkan bahwa NU tak boleh terjebak dalam keterlenaan situasi dan dinamika perpolitikan yang sedang berjalan. Alih-alih, realitas budaya politik semakin terbuka, justru membuat banyak aktor di dalamnya terjun pada hal sama namun mengabaikan ruang lain sebagai akar rumput gerakan. Perlu banyak ruang yang digarap oleh kaum muda NU. Daya kritis harus dijaga sebagai keteguhan prinsip.

Kaum muda NU dengan keterwakilan mereka yang masih mencari jatidiri baik itu kalangan santri maupun mahasiswa di berbagai perguruan tinggi perlu membangun orientasi panjang dalam dinamika NU di banyak aspek kehidupan. Menilik apa yang pernah ditulis KH Abdurrahman Wahid (1990), saat ini NU masuk dalam transformasi yang keempat, yakni transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah tiga babak transformasi sebelumnya: sosial budaya, sosial politik, dan sosial ekonomi. Kendati demikian, tiap aspek tak bisa dipisahkan. Kesemuanya saling berkesinambungan.

Di NU perlu kejelasan dalam perihal pola kaderisasi untuk mempersiapkan para penerus dan pejuang di masa depan. Baik itu dalam pengorganisiran masyarakat, advokasi, kesetaraan dan keadilan gender, isu sains dan teknologi, pluralitas, mengawal keberjalanan demokrasi, hingga kepedulian terhadap kalangan termarjinalkan dan terpinggirkan. Kejelasan itu termaksudkan agar imajinasi anak mudanya tak terhentikan dengan arus mainstream serba kemapanan dan kemewahan yang terlihat akibat kenyamanan dalam sistem.


Joko Priyono, Anggota Bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Riset PB PMII 2021-2024

Editor: Ajie Najmuddin

Artikel Terkait