Jejak Cinta Seorang Guru: Mengenang Gus Alamuddin Dimyati Rois
Selasa, 6 Mei 2025 | 09:30 WIB
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Telah berpulang ke hadirat Allah swt, sosok yang sangat kami cintai dan hormati, guru kami tercinta, KH. Alamuddin Dimyati Rois. Sejatinya masih sangat membutuhkan bimbingannya. Namun, semua ini adalah bagian dari takdir Allah swt. Kini Gus Alam telah terbebas dari rasa sakit dan telah bersuka cita bertemu dengan Abah Dim di surga-Nya. Lahul Faatihah.
Kabar wafatnya KH. Alamuddin Dimyati Rois akrab dikenal sebagai Gus Alam pada Selasa, (06/05/2025) menghadirkan duka yang begitu mendalam. Tidak hanya bagi keluarga besar Pondok Pesantren Al-Fadllu Wal-Fadlilah saja, tetapi juga bagi umat Islam dan murid-muridnya di berbagai penjuru Nusantara. Beliau wafat di Rumah Sakit Budi Rahayu Pekalongan dalam usia 45 tahun.
Sebagai putra dari KH. Dimyati Rois (Abah Dim), tokoh kharismatik Nahdlatul Ulama sekaligus pengasuh utama Pondok Pesantren Al-Fadllu Wal-Fadlilah Kaliwungu, Gus Alam tidak hanya mewarisi tradisi keilmuan pesantren yang luhur, tetapi juga menghadirkan wajah Islam yang damai, kontekstual, dan membumi di tengah tantangan zaman.
Keteladanan Sosok Gus Alam
Para santrinya mengenal beliau sebagai sosok guru yang penuh kasih sayang, sangat sabar, dan teguh dalam pendirian. Dalam setiap majelis ilmu, Gus Alam menyampaikan pelajaran dengan kelembutan, menegur dengan penuh adab dan membimbing lewat keteladanan nyata. Suaranya jarang meninggi, namun tutur katanya mampu menyentuh dan menggugah hati. Di balik sikap lemah lembutnya, tersembunyi keteguhan dalam menjaga akidah, kedalaman ilmu dan ketulusan dalam berjuang di jalan Allah.
Sebagai santri, kami melihat langsung bagaimana beliau membimbing tanpa pamrih. Beliau tak pernah lelah mengingatkan agar kami menuntut ilmu bukan semata demi dunia, tetapi untuk membentuk pribadi yang bertakwa dan bermanfaat bagi umat. “Ilmu itu adalah amanah,” begitu pesan yang kerap beliau ulang. “Jika niatmu hanya untuk dunia, maka dunia saja yang kau peroleh. Tapi jika niatmu untuk akhirat, maka Allah akan anugerahkan keduanya dunia dan akhirat.”
Dalam banyak ceramah juga, Gus Alam mengingatkan: "Jangan pernah mengajar dengan kemarahan, tapi dengan kasih sayang. Karena murid tidak akan mengingat semua kata-kata kita, tapi mereka akan selalu mengingat bagaimana kita memperlakukan mereka." Dan itulah yang kami rasakan. Gus Alam adalah guru yang tidak hanya mengajarkan isi kitab, tapi juga isi hati.
Kami, para santri-santri merasa kehilangan namun juga sadar tugas beliau di dunia telah usai. Gus Alam telah kembali kepada Sang Pemilik, bertemu Abah Dim yang terlebih dahulu berpulang. Kami hanya bisa mendoakan, semoga Allah swt menempatkanya di sisi terbaik-Nya, bersama para kekasih-Nya, dan para ulama salafus shalih.
Baca Juga
Mengenang 1 Tahun KH Dimyati Rois Kendal
Kiprah di Dunia Pendidikan dan Dakwah
Gus Alam bukan hanya aktif membina santri di lingkungan pondok, tetapi juga kerap tampil di berbagai forum dakwah dan pendidikan. Beliau sering menjadi narasumber dalam forum-forum siyasah annahdliyah, seminar keislaman dan berbagai kegiatan yang mendorong kemajuan pendidikan Islam berbasis pesantren. Pemikirannya tentang Islam yang moderat, inklusif dan membawa rahmat bagi seluruh alam menjadi jembatan yang mempertemukan semangat generasi muda dengan kebijaksanaan generasi tua.
Di lingkungan Pondok Pesantren Al-Fadllu Wal-Fadlilah, beliau dikenal sebagai sosok pembaru yang tetap setia pada nilai-nilai tradisi. Gus Alam memperluas cakupan kurikulum dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti ekonomi, teknologi, dan komunikasi digital, namun tetap menjaga ruh kitab kuning sebagai inti pendidikan pesantren. Bagi beliau, pesantren harus menjadi pusat lahirnya peradaban Islam tempat tumbuhnya nilai, ilmu, dan budaya bukan sekadar ruang untuk menghafal teks-teks keagamaan.
Santri dan Kenangan yang Tak Terhapus
Kami, para santri, menyimpan kenangan yang begitu dalam bersama Gus Alam. Mulai dari momen-momen berdesakan saat mengikuti pengajian subuh, hingga kebersamaan dalam tadarus setelah salat tarawih, semuanya menjadi bagian dari mozaik cinta yang tak akan lekang oleh waktu. Banyak di antara kami yang masih menyimpan catatan pelajaran beliau, bahkan rekaman suara saat mengaji, seolah hati ini belum sepenuhnya rela menerima bahwa beliau telah tiada.
Gus Alam adalah sosok yang mampu merangkul dan menyatukan.
Dalam berbagai situasi konflik sosial maupun ketegangan politik keagamaan, kehadiran beliau selalu menenangkan. Tak heran jika beliau dihormati oleh berbagai kalangan, mulai dari warga Nahdliyin hingga generasi milenial Muslim di perkotaan. Seorang ulama muda yang rendah hati, bijak, dan jauh dari sikap eksklusif.
Mohon do’a panjenengan dari alam keabadian sana, agar kami mampu istiqamah melanjutkan jejak perjuangan yang telah dirintis. Ilmu yang telah diwariskan, insyaAllah akan kami jaga, kami amalkan dalam kehidupan, dan kami teruskan kepada generasi setelah kami.
Menjadi santrinya adalah anugerah yang tak ternilai bagi kami. Al-Fatihah akan senantiasa kami kirimkan untuk panjenengan, sebagai bentuk cinta dan bakti yang tak pernah usai. Semoga Gus Alam bahagia dalam keabadian. Sampai jumpa di negeri akhirat yang kekal.
Penulis: Intan Diana Fitriyati, M.Ag