Segitiga Pendidikan Perlu Diterapkan Untuk Hindari Judi Online Pada Anak
Kamis, 1 Agustus 2024 | 11:00 WIB
Semarang, NU Online Jateng
Adanya fenomena judi online pada anak usia dini sangat meresahkan. Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan setidaknya ada sekitar 80 ribu pelaku judi online di kalangan anak d bawah usia 10 tahun.
Guru besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Misbah Zulfa Elizabeth menyampaikan, ada segitiga pendidikan yang harus berjalan secara beriringan untuk menjaga anak agar tidak terjun dalam jerat judi online.
"Segitiga pendidikan harus sangat ketat sekali, yang pertama keluarga, keluarga menyerahkan ke pendidikan formal, kemudian pendidikan non formal kita di TPQ, Pesantren," jelasnya kepada NU Online Jateng, Rabu (31/7/2024).
Elizabeth menjelaskan, karena hal ini merupakan sebuah fenomena, maka perlu dilakukan enkulturasi atau pembudayaan kepada anak bahwasanya saat ini ada yang namanya judi online. Sehingga, anak tidak menyentuh ranah itu.
"Jadi ya koridor budaya mulainya ya dari tiga ranah itu, menurut saya,"kata dia.
"Dan oleh karena itu, idealisasi ayah dan ibu harus dikuatkan bahwa anak itu bukan sekadar ekspresi kenikmatan biologis. Itu adalah sebuah tanggung jawab generasional yang pembudayaannya itu akan menentukan bagaimana budaya dan peradaban kita di masa yang akan datang," lanjutnya.
Selain lingkungan keluarga, lanjut Elizabeth, pendidikan formal dan non formal juga perlu diperhatikan. Sebab, tidak jarang anak-anak senang bergaul dengan teman-teman yang berusia di atas mereka. Sedangkan, orang tua sulit untuk mengontrol pertemanan anak di lingkungan luar.
"Dia berkenalan dengan kakak usianya bisa kakak kelasnya di pendidikan formal, bisa juga kakak seniornya di lingkungan non formal. Kalau di rumah mungkin lebih terorientasi dan pendidikan anak sekarang kan nggak boleh pendidikan yang doktrinal. Mereka harus dipahamkan secara argumentatif, kenapa nggak boleh, itu harus masuk ke mereka. Sehingga mereka ketika melihat, mereka bisa mengatakan 'tidak', dan kemudian sekolah harus mempunyai koridor itu," terangnya.
Baca Juga
Hindari Judi Online dengan Tips Berikut
Oleh seab itu, menurutnya pengetahuan tentang judi online juga perlu disosialisasikan di luar lingkungan keluarga. Seperti misalnya di lingkungan sekolah formal atau pendidikan agama seperti madrasah dan pesantren.
"(Judi online) jangan sebagai something hidden, karena itu realitas teknologi yang ada di depan kita dan di pesantren, di tempat ngaji, di tempat lingkungan pun disampaikan bahwa ini merupakan sesuatu yang nyata dan membahayakan, supaya mereka mempunyai strategi untuk menghindari," kata dia.
Kendati demikian, penanaman budaya yang paling kuat menurut Elizabeth adalah di lingkungan keluarga. Sebab, proses enkulturasi dan internalisasi berada di ranah tersebut.
"arena keluarga merupakan proses awal pendidikan mereka, jika enkulturasi, internalisasi itu berjalan di situ. Betapa luar biasanya peran orang tua, masyaallah itu," ujarnya.
Selain itu, orang tua juga harus mengawasi aktivitas anak saat bermain gawai. Sebab, saat ini masyarakat masih terbiasa dengan berbagai hal yang dilakukan secara online seperti saat pandemi covid-19, seperti misalnya dalam proses belajar.
"Nah bisa jadi dalam sebuah rumah HP-nya satu, apa dua, kemudian dipinjamkan kepada anak. Nah kreatifitas atau 'kenakalan' anak itu kan bisa ke sana ke sini. Tiba tiba ada aplikasi yang dipakai oleh orang tuanya, kemudian dia silent learning kan, belajar pelan pelan. Nah itu kan juga internalisasi, rentan sekali dalam konteks kondisi masyarakat kita yang seperti itu," katanya.