Nasional

Peran PBNU sebagai Hukmul Hakim dalam Penetapan Hukum Fiqih di Lingkungan NU

Kamis, 12 September 2024 | 13:00 WIB

Peran PBNU sebagai Hukmul Hakim dalam Penetapan Hukum Fiqih di Lingkungan NU

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Ulil Abshar Abdallah (Gus Ulil) dalam Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam sekaligus Bahtsul Masail di Islamic Center Semarang di Jalan Abdul Rahman Saleh, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang Jawa Tengah pada Kamis (12/9/2024). (Foto: NUOnline/Suwitno)

Semarang, NU Online Jateng

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Ulil Abshar Abdallah (Gus Ulil) menjelaskan posisi PBNU menjadi otoritas sebagai hukmul hakim dalam menetapkan hukum-hukum fiqih di lingkungan NU. Oleh karenanya, keputusan hukum di lingkungan NU harus melalui proses tashih, takrir, dan mendapatkan pengesahan resmi dari PBNU. 


Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail yang digelar di Islamic Center Semarang, Jalan Abdul Rahman Saleh, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah, pada Kamis (12/9/2024).


“Selama ini keputusan Bahtsul Masail belum memiliki kekuatan penuh jika belum melalui proses tashih dan takrir, serta belum mendapatkan stempel resmi dari PBNU,” jelas Gus Ulil.


Dijelaskannya, keputusan hasil Bahtsul Masail sebelumnya bersifat opini ulama. Menurutnya, keputusan tersebut harus ditingkatkan menjadi fatwa, sebab memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekadar opini.


"Fatwa memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding sekadar opini yang tertuang dalam kitab fiqih. Fatwa merespons realitas sosial (waqi’ ijtima’i), meski belum mengikat, kecuali jika telah menjadi keputusan hakim atau hukmul hakim,” ungkapnya.


Dalam konteks fiqih, lanjut Gus Ulil, hukmul hakim yarfa’ul khilaf, yaitu keputusan hakim menghilangkan perbedaan pendapat. Dengan kata lain, ketika seorang hakim atau penguasa memutuskan hukum, maka perbedaan pendapat di kalangan ulama atau kiai tidak lagi berlaku. 


“Di NU, kita belum memiliki hukmul hakim yang resmi. Meski kita memiliki kitab fiqih, fatwa hasil Bahtsul Masail, dan rumusan metode istinbath, itu belum menjadi hukmul hakim,” ujarnya.


Menurut Gus Ulil, keputusan ini merupakan bagian dari Peraturan Perkumpulan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Istinbath dan Penetapan Hukum yang telah ditetapkan dalam Konferensi Besar (Konbes) Yogyakarta 2024. Dengan peraturan tersebut, PBNU menjadi otoritas tertinggi yang memutuskan hukum-hukum di lingkungan Nahdlatul Ulama, menghilangkan perbedaan pendapat yang selama ini hanya tertuang dalam kitab fiqih atau fatwa. 


“Keputusan ini wajib ditaati oleh seluruh warga NU, bukan sekadar fatwa, tetapi sudah menjadi keputusan hakim,” tegasnya.


Melalui Konbes Yogyakarta 2024 itu, PBNU menetapkan Peraturan Perkumpulan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Istinbath dan Penentuan Hukum di lingkungan NU. Oleh karenanya, PBNU bertindak sebagai hakim yang memutuskan hukum-hukum tersebut. 


"Dengan demikian, keputusan ini wajib ditaati di kalangan NU, bukan sekadar fatwa, tetapi sudah menjadi keputusan hakim," jelasnya.


Lebih lanjut, Gus Ulil menjelaskan bahwa seminar dan Bahtsul Masail seperti yang diselenggarakan kali ini didasari oleh perkembangan Bahtsul Masail yang telah mengalami berbagai perbaikan sejak Musyawarah Nasional (Munas) NU di Lampung pada 1942.


Saat itu, para kiai merasakan adanya kemandekan dalam Bahtsul Masail, sebab banyak masalah yang tidak dapat diputuskan lantaran tidak ada referensi langsung dalam kitab fiqih. Para kiai di masa itu lebih memilih untuk tidak menetapkan hukum baru daripada mengambil keputusan yang tidak berdasarkan kitab.


“Dulu para kiai sangat menjaga tata krama, sehingga enggan membuat hukum baru. Namun, hal ini bisa berbahaya jika tidak ada hukum yang ditetapkan saat masyarakat membutuhkan, karena bisa menimbulkan kekosongan hukum,” jelasnya.


Sebagai informasi, Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail PBNU ini juga menjadi ajang penting bagi kalangan kiai dan santri untuk memperkuat pemahaman dan kemampuan dalam merumuskan hukum-hukum yang relevan dengan perkembangan zaman. Forum ini merupakan bagian dari program PBNU yang bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Ditjen Pendis Kementerian Agama, yang akan diselenggarakan di 12 lokasi di Indonesia.