Gus Yahya: Pesantren Adalah Warisan Peradaban yang Terus Berkembang
Rabu, 9 Oktober 2024 | 12:00 WIB

Gus Yahya saat memberikan pidato kunci di Simposium Pesantren 2024 dengan tema Strategi Penguatan Pesantren Sebagai Pilar Masa Depan di Auditorium Mandiri Lantai 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, pada Selasa (8/10/2024). (Foto:NU Online)
Sleman, NU Online Jateng
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, menegaskan pentingnya memahami pesantren secara lebih mendalam, bukan berdasarkan mitos-mitos yang berkembang. Ia menjelaskan bahwa pesantren adalah institusi pendidikan yang telah melalui perubahan signifikan, dengan akar yang kokoh pada sejarah panjang peradaban Nusantara.
“Pesantren itu adalah lembaga yang sebetulnya setelah melalui rentang sejarah panjang telah mengalami metamorfosis,” kata Gus Yahya saat memberikan pidato kunci di Simposium Pesantren 2024 dengan tema Strategi Penguatan Pesantren Sebagai Pilar Masa Depan di Auditorium Mandiri Lantai 4 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, pada Selasa (8/10/2024). Simposium ini merupakan bagian dari peringatan Hari Santri 2024.
Gus Yahya menjelaskan bahwa pesantren memiliki sejarah panjang yang bermula dari peradaban kuno Nusantara. Salah satu pilar utama dari perkembangan tersebut adalah kejayaan Sriwijaya, imperium maritim yang mendominasi perdagangan di Asia Tenggara selama berabad-abad.
Ia menyatakan bahwa struktur sosial-politik federatif pada era Sriwijaya memungkinkan terbentuknya komunitas-komunitas mandiri di pedalaman, termasuk di Jawa. Sebelum masa Islam, terdapat para pemimpin komunitas independen, yang dikenal dengan sebutan "Ki Ageng," yang diakui dalam komunitas masing-masing.
“Sriwijaya hanya mengukuhkan great politik di bantar pelabuhan-pelabuhan untuk mengendalikan jalur-jalur perdagangan maritim. Sementara struktur dan dinamika sosial politik di pedalaman Nusantara dibiarkan bebas. Asalkan kegiatan perdagangan tunduk di bawah kendali Sriwijaya. Maka tumbuh di pedalaman Nusantara ini komunitas-komunitas independent,” jelasnya.
Selanjutnya, Gus Yahya menjelaskan bahwa ketika hubungan antara Nusantara dan Timur Tengah semakin erat, pesantren mulai menyerap elemen-elemen akademis dari dunia Islam. Ulama seperti Syekh Nawawi Al-Bantani membawa ajaran-ajaran baru ke Nusantara, dan kitab-kitab agama mulai diajarkan di pesantren, termasuk fiqih, nahwu, dan shorof.
“Kitab-kitab dalam berbagai bidang ilmu apakah ilmu fiqih, nahwu, shorof, dan ini terus berkembang menjadi ciri khas pesantren,” katanya.
Lebih lanjut, Gus Yahya menyoroti bahwa konsep keberlanjutan atau sustainability dalam pesantren dan kepemimpinan ulama mulai muncul sejak berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini memperkenalkan visi jangka panjang yang mengharuskan para kiai memikirkan masa depan kepemimpinan di pesantren dan komunitas mereka.
“Saya menduga aspirasi tentang sustainability muncul gara-gara didirikannya Nahdlatul Ulama. Karena persis dengan jamiyah itulah gagasan tentang sustainability itu diperkenalkan bahwa para ulama itu semestinya memiliki cita-cita jauh ke depan untuk itu diperlukan satu model dan kendaraan perjuangan yang sustainable maka didirikanlah organisasi namanya Nahdlatul Ulama,” jelasnya.
Seiring waktu, para kiai mulai menyadari pentingnya menjaga kesinambungan kepemimpinan di NU. Mereka mulai serius mendidik generasi penerus agar dapat melanjutkan perjuangan dan kepemimpinan, terutama setelah kemerdekaan ketika tantangan yang dihadapi pesantren semakin besar.
Mengakhiri pidatonya, Gus Yahya berharap diskusi terkait pesantren tidak hanya didasarkan pada pemahaman yang dangkal, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor penting yang relevan dengan perkembangan pesantren di masa kini dan mendatang.
“Saya berharap dalam simposium ini berbagai macam faktor yang relevan terkait pesantren ini dipertimbangkan sungguh-sungguh. Jangan sampai kita berdiskusi hanya berdasarkan mitos-mitos,” tutupnya.