Keislaman

Sayyidina Umar: Tawassul dengan Keluarga Nabi sebagai Perantara Doa

Jumat, 8 November 2024 | 14:00 WIB

Sayyidina Umar: Tawassul dengan Keluarga Nabi sebagai Perantara Doa

Ilustrasi: Umar bin Khattab NU Online

Dalam salah satu anekdot di jelaskan “Mana yang lebih berharga sebuah rumah dengan sosok Umar bin Khattab di dalamnya atau sebuah rumah penuh emas dan permata?” Meski harta tampak menggoda, perlu diingat bahwa bersama Umar, Islam pernah mencapai puncak prestasi politik dan spiritual yang luar biasa. Di bawah kepemimpinannya, kekaisaran Romawi dan Persia berhasil ditaklukkan, dan Islam memiliki pasukan dengan kekuatan spiritual yang luar biasa.

 
Pasukan ini digambarkan oleh intelijen Romawi dengan kata-kata: Hum Ruhbaan al-Layl wa Fursaan al-Nahar ("Mereka adalah ksatria gagah di siang hari dan hamba yang khusyuk beribadah di malam hari"). Maka, sosok Umar tidak dapat dibandingkan dengan harta sebanyak apapun. Ia adalah contoh sempurna dari kematangan duniawi dan spiritual yang berpadu dengan elegan.


Rasulullah saw sangat memahami sifat dan karakter Umar. Di mata beliau, Umar adalah sosok pemberani dan berjiwa pemenang. Ia memiliki keahlian luar biasa dalam duel fisik sekaligus ketangkasan dalam berdebat. Ketika Umar telah meyakini sesuatu, ia akan membela keyakinannya dengan sepenuh hati.


Contoh nyatanya adalah ketika keyakinan Umar berubah drastis, awalnya ia hendak membunuh Nabi Muhammad saw karena kesetiaannya pada penyembahan berhala, namun seketika ia berubah setelah mendengar keindahan ayat-ayat dalam Surat Thaha, yang menurutnya tak mungkin ditulis oleh manusia. Bahkan dengan pemahaman sastra yang terbatas, Umar dapat merasakan keagungan sastrawi dalam ayat tersebut. Selain itu, ciri lain yang menonjol dalam diri Umar adalah keberaniannya dalam berijtihad.


Kematangan intelektual dan spiritual Umar terlihat dari berbagai pemikirannya yang tergolong "out of the box" pada zamannya. Misalnya, usulannya untuk membukukan Al-Quran, kebijakan menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri selama masa paceklik, serta inovasinya dalam praktik tawassul. Dalam hal tawassul, mayoritas ulama Ahlussunnah sepakat bahwa hal tersebut diperbolehkan, seperti tercermin dalam kisah seorang lelaki buta yang meminta kesembuhan kepada Nabi Muhammad.


Nabi memintanya berwudlu dan berdoa kepada Allah dengan tawassul seraya berkata: “Aku bertawassul dengan Nabimu, Ku menghadap kepada-Mu dengan kemuliaan Nabi-Mu, Semoga kau sembuhkan..” Kisah ini berujung pada sembuhnya orang tersebut. Bahkan klasifikasi tawassul dengan perantara Nabi Muhammad secara historis dilakukan dalam tiga masa; sebelum kelahiran Nabi Muhammad, di masa hidupnya dan saat wafatnya. 


Sebelum kelahiran Nabi Muhammad, Nabi Adam pernah melakukan tawassul dengan menyebut nama Muhammad saat memohon ampun kepada Allah swt atas kesalahannya. Nabi Adam berkata, “Aku melihat nama-Mu bersanding dengan nama Muhammad, dan tentu Engkau tak akan memasangkan nama-Mu dengan seseorang kecuali yang sangat Engkau cintai.”


Pada suatu masa ketika terjadi paceklik, Umar melakukan inovasi dalam praktik tawassulnya. Alih-alih hanya menyebut nama Nabi Muhammad saw seperti yang biasa dilakukan para sahabat, ia menyebut pula nama Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi. Dari atas mimbar, Umar berdoa, “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabimu, dan aku bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabimu. Maka turunkanlah hujan kepada kami.” Tak lama kemudian, hujan pun turun.


Umar dalam kisah tersebut bukan tidak memahami bahwa bertawassul dengan Nabi Muhammad saw sudah cukup, tetapi ia ingin menunjukkan bahwa tawassul dengan selain Nabi pun diperbolehkan. Tanpa inovasi dan keberanian Umar dalam berijtihad, pemahaman kita mungkin akan terbatas pada diperbolehkannya tawassul hanya kepada Nabi Muhammad saw saja.
 

Di akhir kisahnya, Umar menambahkan, "Ibnu Abbas dengan Nabi adalah seperti hubungan antara orang tua dan anak," yang berarti Nabi sangat mencintai Abbas dan menganggapnya seperti seorang ayah. Dengan langkah ini, Umar mengajarkan kita bahwa orang-orang yang dekat dengan Nabi Muhammad saw adalah orang-orang yang mulia dan dekat dengan Allah, sehingga layak untuk kita bertawassul dengan menyebut nama mereka. Umar membuka wawasan umat Islam bahwa para ulama dan orang-orang saleh adalah pewaris Nabi, dan meskipun mereka telah wafat, mereka tetap terhormat dan bisa menjadi perantara bagi doa-doa kita.Wallahu A’lam bis Showab.

Sumber: Hujjah Ahlu Sunnah wal Jamaah, Karya KH. Ali Maksum dan Al-Bidayah wa An-Nihayah Karya Ibn Katsir.

 

Penulis: Syaddad Ibnu Hambari