Mengibarkan Bendera Merah Putih Wujud Penghormatan kepada Pejuang, Ulama dan Santri.
Selasa, 5 Agustus 2025 | 09:00 WIB
Setiap bulan Agustus, masyarakat Indonesia menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia dengan penuh semangat. Salah satu wujudnya adalah mengibarkan bendera merah putih di rumah, kantor, hingga masjid. Namun, di tengah semarak kemerdekaan, muncul segelintir pandangan yang mempertanyakan, benarkah memasang atau menghormati bendera nasional dibenarkan dalam Islam?
Pertanyaan seperti ini perlu dijawab dengan penuh kebijaksanaan, karena Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan antar sesama dan kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam urusan bernegara.
Baca Juga
Peran NU dalam Kemerdekaan Indonesia
Dalam pandangan ushul fikih, terdapat satu konsep penting yang relevan dalam menjawab persoalan ini, yaitu al-‘urf (kebiasaan). Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu:
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ إِذَا لَمْ تُخَالِفْ نَصّاً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ قِيَاساً صَحِيْحاً
Artinya: "Adat (kebiasaan) dapat dijadikan dasar hukum jika tidak bertentangan dengan nash, ijma', atau qiyas yang sahih."
Mengibarkan bendera nasional adalah bagian dari simbol kenegaraan yang telah menjadi ‘urf (kebiasaan) di masyarakat. Ia tidak mengandung unsur syirik, tidak menyerupai ibadah, dan tidak bermakna pengagungan terhadap selain Allah. Oleh karena itu, kebiasaan ini dapat dinilai sebagai ‘urf shahih yang dapat dijadikan dasar kebolehan menurut hukum syariat.
Islam tidak pernah mengajarkan umat untuk membenci tanah air. Rasulullah ﷺ sendiri menunjukkan rasa cinta yang mendalam terhadap Makkah. Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Nabi bersabda:
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ، وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ، لَمَا خَرَجْتُ
Artinya: “Demi Allah, engkau adalah bumi Allah yang paling aku cintai, dan negeri yang paling dicintai Allah kepada-Nya. Seandainya aku tidak dikeluarkan dari dirimu, maka aku tidak akan pergi.” (HR. Ibnu Hibban no. 3709)
Hadits ini menunjukkan bahwa cinta terhadap tanah kelahiran adalah fitrah, dan bukan termasuk dalam kategori 'ashabiyyah (fanatisme golongan) yang dilarang, selama tidak menimbulkan kebencian kepada pihak lain atau bertentangan dengan keadilan.
Kita tak boleh melupakan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hasil perjuangan satu golongan. Para ulama seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, hingga para santri dan laskar Hizbullah, telah berjuang mempertahankan NKRI, bahkan mengorbankan nyawa demi kemerdekaan bangsa.
Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan NU menjadi bukti bahwa membela tanah air adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Maka, mengibarkan bendera merah putih bukan sekadar upacara seremonial, melainkan wujud penghormatan kepada perjuangan para ulama dan santri. Wallohu a’lam.
Penulis : Fahmi Burhanuddin (Alumni Ponpes An-Nawawi Berjan & STAI Imam Syafii Cianjur)