Keislaman
4 Adab Memberi Hadiah Menurut Imam al-Ghazali
Hadiah merupakan salah satu jenis pemberian kepada orang lain yang juga dianjurkan di dalam Islam berdasarkan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu sebagai berikut:
تهادوا تحابوا
Artinya: “Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling
mencintai.” (HR al-Bukhari). Syekh Zakariyya Al-Anshari mendefinisikan hadiah
sebagai berikut:
(الهدية وهي) تمليك (ما يحمل) اي
يبعث (غالبا) بلا عوض الى المهدى اليه (إكراما)
Artinya: “Hadiah
adalah penyerahan hak milik harta benda tanpa ganti rugi yang umumnya
dikirimkan kepada penerima untuk memuliakannya.” (lihat Abi Yahya Zakariyya
Al-Anshari Asy-Syafi’i, Asnal Mathalib, [Beirut: Dâr al-Kutub
al-Ilmiyyah], juz 5, hlm. 566).
Jadi tujuan dari pemberian hadiah adalah untuk memuliakan
seseorang, misalnya atas kedudukan, prestasi, peranan atau jasa penting yang
dimilikinya dalam masyarakat.
Terkait dengan pemberian hadiah ini, Imam al-Ghazali
memberikan petunjuk tentang adab yang perlu diperhatikan oleh siapa saja yang
bermaksud memberikan hadiah kepada seseorang sebagai berikut:
آداب المهدي: رؤية الفضل للمهدي
إليه ، وإظهار السرور بالقبول منه لها ، والشكر عند رؤية المهدي إليه والاستقلال
لها وإن كثرت
Artinya: Memandang utama kepada orang yang diberi hadiah;
memperlihatkan rasa senang pada waktu menyerahkan hadiah; bersyukur ketika
melihat orang yang akan diberi hadiah; dan mengikhlaskan hadiah tersebut (tidak
pamrih) walaupun banyak. (lihat Imam al-Ghazali, al-Adâb fî al-Dîn dalam
Majmû'ah Rasâil al-Imâm al-Ghazâlî [Kairo: Al-Maktabah At-Taufîqiyyah,
t.th.], Hal. 439).
Dari kutipan di atas dapat diuraikan keempat adab memberi
hadiah sebagai berikut:
Pertama, memandang utama
kepada orang yang diberi hadiah. Pemberian kepada orang lain karena
merasa iba tidak bisa disebut sebagai hadiah tetapi sedekah. Oleh karena itu
jika kita bermaksud memberikan sesuatu kepada seseorang sebagai hadiah, maka
kita harus memandang sisi keutamaan atau kelebihan dari orang itu sebagai sikap
menghargai atau menghormati, misalnya sebagai sesepuh, orang alim, orang saleh,
orang yang banyak kebaikan dan jasanya, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah bolehkah kita memberikan hadiah kepada
seorang tokoh yang kebetulan kondisi ekonominya lemah atau termasuk orang tak
mampu?
Tentu saja kita boleh memberikan hadiah kepada seseorang
dengan kondisi seperti di atas tetapi harus dengan niat memuliakan karena
ketokohannya. Jika niat kita karena ingin berbagi kepada orang yang membutuhkan
uluran tangan, maka pemberian itu disebut sedekah. Secara agama, tidak ada
perbedaan yang berarti antara hadiah dan sedekah karena keduanya hukumnya
sunnah. Tetapi secara sosial, hadiah lebih tinggi nilainya dari pada
sedekah.
Kedua, menampakkan rasa
senang pada waktu menyerahkan hadiah. Memberikan hadiah bukanlah
kewajiban karena sekali lagi hukumnya adalah sunnah. Oleh karena hukumnya bukan
wajib, maka terasa janggal apabila kita memberikan hadiah karena keterpaksaan
sehingga tidak bisa menampakkan rasa senang.
Oleh karena itu, dalam memberikan hadiah kepada seseorang
harus disadari bahwa pemberian itu bersifat suka rela sebagai ungkapan terima
kasih atau penghargaan atas kelebihan-kelebihan atau keutamaan-keutamaan yang
ada padanya.
Ketiga, bersyukur ketika
melihat orang yang akan diberi hadiah. Jika menampakkan rasa senang di
depan orang lain lebih bersifat sosial karena terkait dengan hubungan baik
antara manusia satu dengan lainnya atau disebut hablum minan nas, maka rasa
syukur di dalam hati ketika bertemu orang yang akan diberi hadiah termasuk
wilayah hablum minallah karena bersyukur merupakan ibadah personal kepada
Allah.
Rasa syukur dalam kaitan ini adalah penting karena kita
perlu menyadari bahwa tidak setiap orang mendapat kesempatan atau diberi
kamampuan untuk memberikan hadiah kepada orang-orang yang memang memiliki
keutamaan-keutamaan tertentu sebagaimana telah disinggung di atas.
Keempat, mengikhlaskan
hadiah tersebut walaupun banyak. Memberikan hadiah dengan nilai yang
pantas adalah wajar sebab hadiah bersifat penghargaan dan tidak diberikan
dengan pamrih tertentu. Bagi orang mampu, nilai hadiah yang wajar tidak menjadi
persoalan, tetapi bagi orang yang kurang mampu, mungkin terasa berat dan bisa
mengurangi keikhlasannya. Di sinilah masalahnya jika orang-orang tak mampu
didorong-dorong memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu di dalam
masyarakat.
Solusinya, orang-orang tak mampu yang berkeinginan
memberikan hadiah dengan nilai yang pantas menurut ukuran umum, mereka bisa
melakukannya dengan terlebih dahulu menabung hingga mencapai angka yang pantas.
Tetapi jika mereka memutuskan nilai hadiah yang seadanya, maka mereka tidak
boleh lupa memohon maaf untuk menghindari kesalahpahaman. Atau, mereka tidak
perlu memaksakan diri untuk memberikan hadiah jika faktanya memang belum cukup
mampu.
Demikianlah keempat adab pemberi hadiah sebagaimana
dinasihatkan oleh Imam al-Ghazali yang hendaknya kita perhatikan dengan baik.
Intinya adalah dalam memberikan hadiah kepada orang-orang tertentu yang
memiliki keutamaan atau kelebihan di masyarakat, kita perlu memperhatikan bahwa
hadiah itu diberikan sebagai penghormatan dengan nilai yang wajar dan dilakukan
dengan senang hati, syukur, serta tanpa pamrih.
Muhammad Ishom,
dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Sumber: 4 Adab Pemberi Hadiah menurut Imam al-Ghazali