Regional

7 Hektar Lebih Lahan Pertanian Dirampas Korporasi, Petani Pundenrejo Tayu Pati Tuntut Hak Pengelolaan 

Rabu, 6 November 2024 | 13:00 WIB

7 Hektar Lebih Lahan Pertanian Dirampas Korporasi, Petani Pundenrejo Tayu Pati Tuntut Hak Pengelolaan 

Demonstrasi petani-petani Pundenrejo, Tayu, Pati, Jawa Tengah pada Jumat (31/5/2024) menuntut hak pengelolaan lahan yang diserobot PT LPI atau Pabrik Gula (PG) Pakis, Tayu ke kantor BPN Pati. (Foto: dok. istimewa/Basyir)

Pati, NU Online Jateng

Para petani Desa Pundenrejo, Tayu, Pati, Jawa Tengah menuntut haknya untuk mengelola lahan pertanian nenek moyang mereka seluas 7 hektare lebih yang dirampas PT Laju Perdana Indah (LPI) atau Pabrik Gula (PG) Pakis, Tayu, Pati.


Penasihat Koordinator Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun), Mbah Suryanto mengatakan lahan tersebut telah turun-temurun dikelola oleh warga dari generasi ke generasi sejak Indonesia merdeka, pada tahun 1945. Tanah tersebut statusnya milik negara namun dikuasakan kepada masyarakat. 


Pada tahun 1950 tanah tersebut diolah dan digarap oleh warga bahkan, kata Suryanto, pada tahun 1960 ia ikut mengelola lahan tersebut.


“Terus pada tahun 1965 ditakut-takuti perintis, kalau tidak mau mundur (dari mengelola) lahan tersebut dianggap PKI,” ujarnya kepada NU Online pada hari ini Jumat (1/11/2024).


Selanjutnya, tahun 1973 lahan tersebut dikuasakan lewat Hak Guna Bangunan (HGB) PT BAPPIPUNDIP (Perusahaan di bawah Kodam IV Diponegoro) hingga 1994. 


Menurut pria yang akrab disapa Suri ini, dalam sertifikat HGB tertera lahan tersebut untuk tempat lori atau kereta dan perumahan. Kenyataannya hak guna tersebut tidak digunakan semestinya. 


Pertama, tidak digunakan untuk tempat lori dan kereta. Yang kedua untuk perumahan karyawan juga tidak kunjung dibangun. Tahun 1999 PT BAPPIPUNDIP tutup dan tanah terlantar selama setahun. Tahun 2000 tanah dikelola kembali oleh warga hingga tahun 2019.


“Tahun 2019 terjadi konflik antara PT Laju Perdana Indah (LPI) dengan masyarakat. Hingga (tahun) 2020 terjadi pengerusakan (lahan tersebut). Mereka menyewa jeger-jeger dan aparat untuk menakut-menakuti masyarakat,” lanjutnya.


“Jangka waktu HGB oleh PT LPI dari 2001 hingga 27 September 2024, perizinan habis. Oleh warga didemo agar tidak diperpanjang maupun izin baru,” tambahnya.


Menurut Suri, negara masih abu-abu dalam menangani konflik agraria ini yaitu berada di tengah-tengah antara rakyat dan PT LPI dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Beberapa waktu yang lalu ia mendapatkan informasi dari BPN bahwa tanah tersebut statusnya terlantar atau tanah konflik.


“Sekarang tanah ini, yang pasti balik lagi ke negara. Jadi dikuasakan ke negara,” katanya.


Ia berharap agar BPN tidak memperpanjang  dan memberikan izin baru HGB kepada pihak lain dalam hal ini PT LPI. Ia bersyukur pihak Pemerintah Desa Pundenrejo tidak mau menandatangani perpanjangan kontrak dengan PT LPI.


“Pertama perizinannya sudah habis. Yang kedua penggunaannya tidak sesuai sehingga tanah tersebut statusnya tanah konflik,” katanya menirukan pernyataan pemerintah desa.


Dalam menuntut keadilan dalam hal ini untuk memeroleh hak pengelolaan tanah, Suri telah melobi berbagai pihak di antaranya DPRD Pati dan Bupati Pati. Namun, hingga saat ini belum mendapat kepastian terkait hak pengelolaan lahan. Bahkan tiga bulan lalu ia dan warga melakukan demonstrasi dengan melakukan jalan dari Tayu menuju Pati yaitu ke gedung BPN dengan jalan kaki.


“Kemarin PJ Bupati Pati mengadakan mediasi dari petani, BPN dan PT LPI. PT LPI tidak boleh masuk lahan dan petani tidak boleh masuk lahan. (Itu) Kurang lebih tiga minggu yang lalu. Biar tidak terjadi benturan antara warga dan PT,” paparnya.


Suri menuntut bahwa tanah tersebut harus kembali ke rakyat karena secara turun-temurun tanah tersebut dikelola oleh rakyat. Alasan lainnya, HGB tanah tidak sesuai penggunaannya dan sudah habis tenggat waktunya.


“Terus secara ekonomi (tanah tersebut) sangat membantu (petani) Pundenrejo,” tegasnya.


Ia mengaku bergerak memperjuangkan hak atas pengelolaan  tanah tersebut bukan karena siapapun, namun hanya membantu warga.


“Saya hanya ingin membantu memperjuangkan (agar) yang tidak punya lahan dapat mengelola. Itu tujuan utama saya,” tegasnya.

 
Demonstrasi petani-petani Pundenrejo, Tayu, Pati, Jawa Tengah pada Jumat (31/5/2024) menuntut hak pengelolaan lahan yang diserobot PT LPI atau Pabrik Gula (PG) Pakis, Tayu ke kantor BPN Pati. (Foto: dok. istimewa/Basyir)


Salah seorang Petani Pundenrejo yang terdampak konflik, Basyir mengaku perekonomiannya terhambat, karena ia mengandalkan lahan tersebut untuk bercocok tanam. Bahkan ia masih ingat betul pada tahun 2019, para petani mendapat intimidasi agar tidak mengelola lahan tersebut.


“(Pada) 2020 mulai ada pengerusakan tanaman palawija. (Yang melakukan) Dari Kepolisian bahkan koramil, kami punya bukti foto dan videonya. Itu membuat warga takut,” ujarnya pada hari ini Jumat (1/11/2024).


“Semua warga pada takut. Petani berharap lahan tersebut dikembalikan kepada petani,” tuntutnya.


NU Online telah menghubungi pihak BPN Pati namun mereka tidak berkenan memberikan pernyataan pada Sabtu (1/11/2024).


Begitupun juga pada hari ini Senin (4/11/2024), NU Online telah mendatangi secara langsung kantor PT LPI atau Pabrik Gula Pakis Tayu, Pati, namun mereka tidak mau memberikan pernyataan resmi dan masih menunggu prosesnya di Kanwil BPN Jateng.

 

Kontributor: Ahmad Solkan