Lagi Puasa Muharram, tapi Tuan Rumah Suguhkan Makanan, Bagaimana Sikap Kita?
Ahad, 7 Juli 2024 | 09:00 WIB
Bulan Muharram adalah salah satu di antara bulan-bulan mulia (Asyhurul Hurum). Umat Islam dianjurkan untuk mengisinya dengan berpuasa, khususnya pada 10 hari pertama.
Puasa di bulan Muharram sendiri termasuk puasa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Hal demikian diungkapkan Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in berikut.
أفضل الشهور للصوم بعد رمضان الأشهر الحرم وأفضلها المحرم ثم رجب ثم الحجة ثم القعدة ثم شهر شعبان.
Artinya: "Lebih utama-utamanya bulan untuk berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah bulan-bulan mulia, dan lebih utama-utamanya bulan-bulan mulia adalah bulan Muharram, Rajab, Dzulhijjah, Dzulqa'dah, kemudian bulan Sya’ban. (Syaikh Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin, Hamisy I'anut Thalibin. Hal: 271. Surabaya: Al-Haromain).
Di dalam bulan Muharram, ada hari-hari yang sangat disunnahkan atau sunnah mu’akkad untuk berpuasa, yakni hari Tasu’a (tanggal 9 Muharram) dan hari Asyuro (tanggal 10 Muharram). Keutamaan melaksanakan puasa di hari-hari tersebut adalah dapat menghapus dosa satu tahun lalu. Keterangan itu sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad saw yang dikutip Sayyid Abi Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitab I'antut Thalibin.
Baca Juga
Dalil Puasa Muharram dan Keutamaannya
ويسن متأكدا صوم يوم عاشوراء لقوله صلى الله عليه وسلم فيه : أحتسب على الله ان يكفر السنة الماضية التي قبلها.
Artinya : "Sangat disunnahkan puasa hari Asyura karena Nabi Muhammad saw berkata, 'Saya menganggap Allah akan menghapus dosa satu tahun yang lalu sebelum Asyura tahun ini'."
Nabi Muhammad saw juga bersabda, menyampaikan keinginannya untuk bisa berpuasa di tanggal 9 Muharram di tahun mendatang. Sayangnya, sebelum itu tercapai, beliau keburu wafat.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع. ( رواه مسلم )
Artinya: Rasulullah saw bersabda, “Sungguh jika saya masih hidup di tahun yang akan datang, saya akan berpuasa tanggal 9 Muharram." (HR. Muslim)
Namun, ketika melakukan puasa sunnah, terkadang seseorang mendapatkan suguhan makanan atau tawaran makanan dan minuman dari orang lain yang tidak mengetahui bahwa ia sedang berpuasa. Keadaan demikian membuat seseorang itu dilema. Apakah membatalkan puasa atau tetap melanjutkannya? Bagaimana sikap yang perlu ditunjukkan saat demikian?
Dalam menghadapi keadaan demikian, apabila ada kekhawatiran menyinggung perasaan orang lain yang memberikan makanan, maka lebih utama membatalkan puasa dengan menyantap hidangan yang disediakan. Dengan begitu, ia mendapatkan pahala yang dilakukannya.
Namun apabila tidak ada kekhawatiran menyinggung perasaan orang yang memberi makanan maka lebih baik tetap melanjutkan puasa dan mengatakan secara halus bahwa ia sedang berpuasa. Syekh Zainuddin Al Malibari menjelaskan dalam kitab Fathul Mu’in.
يندب الأكل في صوم نفل ولو مؤكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه, فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى. قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه.
Artinya : disunnahkan membatalkan puasa dengan makan ketika berpuasa sunnah meskipun puasa yang sangat dianjurkan karena untuk melegakan hati orang yang memberi makan, hal tersebut dilakukan ketika sulit untuk menahan meskipun sudah dipenghujung hari karena ada perintah untuk membatalkan puasa dan ia mendapatkan pahala yang ia lakukan, dan sunnah mengqodhoi di hari lain. Apabila ia tidak merasa sulit menahan maka tidak disunnah membatalkan puasa dan hal itu lebih utama. Imam Ghozali berkata, saat membatalkan puasa disunnahkan niat membahagiakan hati orang lain. (Fathul Mu’in, Hamisy I'anatut Thalibin Juz 3. Hal 265. Surabaya: Al-Haramain).
Hal ini hanya berlaku untuk puasa sedangkan puasa wajib baik Ramadhan, qadha’ atau nadzar maka wajib melanjutkan puasanya.
Sebenarnya dalam puasa sunnah syarat dan rukunnya sama dengan puasa fardhu (wajib), tetapi untuk puasa sunnah, ada kelonggaran dibandingkan dengan puasa wajib seperti tidak diwajibkan niat di malam hari. Hal ini dijelaskan Syekk Ibrahim Al-Bajuri :
وأما إن كان نفلا فلا يشترط فيه التبييت بل تصح نيته قبل الزوال إن لم يسبقها مناف للصوم على المعتمد.
Artinya: "Apabila puasa tersebut sunnah maka tidak disyaratkan untuk niat di malam hari bahkan niat puasa tetap sah ketika dilakukan sebelum bergesernya matahari atau waktu istiwa dengan syarat belum melakukan perkara yang membatalkan puasa. (Hasyiyah Ibrahim Al-Bajuri. Juz 2. Hal 408. Darul Minhaj).
Ustadz Moh Hasan Asy’ari, Khadim Pondok Pesantren Sunan Giri dan Pondok Pesantren Ittihadul Asna Kota Salatiga
Terpopuler
1
Jadwal Kepulangan Jamaah Haji Asal Jawa Tengah dan DIY Gelombang 2
2
5,5 Juta Antrean Berangkat Haji, BP Haji Siapkan Langkah Audit Data Antrean
3
Pitutur, Dawuh, dan Parenting ala Nyai Hj Djamilah Hamid Baidlowi
4
LESBUMI PWNU Jateng Gelar Syi’ar Muharram 1447 H: Mematri Spiritualitas, Membangun Peradaban Bangsa
5
Unwahas Siapkan Beasiswa untuk Atlet Paralayang Berprestasi
6
LAZISNU Tayu Klarifikasi Pemberitaan Tak Sesuai Fakta soal Penyaluran Bantuan Rob
Terkini
Lihat Semua