• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Kamis, 28 Maret 2024

Keislaman

Bolehkah Memuji Orang Lain di Hadapannya?

Bolehkah  Memuji Orang Lain di Hadapannya?
Foto: Ilustrasi
Foto: Ilustrasi

Beberapa hadits Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pujian kepada orang lain di hadapanya sekilas tampak bertentangan satu sama lain. Artinya ada hadits yang dipercaya melarang memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya, ada pula hadits yang membolehkan hal seperti itu.


Salah satu hadits yang sering dirujuk untuk melarang memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hammam bin al-Harith radhiallahu ‘anhu sebagai berikut: 

 

  إذا رأيتم المداحين فاحثوا في وجوههم التراب   

 

Artinya: “Jika Engkau melihat orang yang memuji, maka taburkanlah debu di wajahnya” (HR Muslim No. 3002).  


Jadi perintah Rasulullah untuk menaburkan debu di wajah orang yang memberikan pujian kepada kita merupakan petunjuk bahwa kita tidak boleh merasa senang dengan pujian dari orang lain, sekaligus hal ini dipercaya merupakan larangan memberikan pujian kepada orang lain di hadapannya.   Sedangkan salah satu hadits yang sering dirujuk untuk membolehkan memberikan pujian kepada orang lain di hadapanya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Amir bin Sa’d radhiallahu ‘anhu sebagai berikut:

 

   سمعت أبِي يقول: ما سمعت رسول الله صلَّى الله علَيه وسلم يقول لحي يمشي، إنه في الْجنّة إلا لعبد الله بْن سلام   

 

Artinya: “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Aku belum pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini bahwa dia adalah calon penghuni surga kecuali kepada ‘Abdullah bin Salam’” (HR Muslim No. 2483).   


Jadi ketika Rasulullah memuji kesalehan ‘Abdullah bin Salam dengan menyebutnya sebagai calon penghuni surga tentu saja hal itu merupakan pujian yang luar biasa kepada sahabat tersebut. Sekali lagi hadits ini diyakini menjadi dasar diperbolehkannya memberikan pujian kepada orang lain.   


Menengahi perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya memberiakan pujian kepada orang lain berdasarkan hadits-hadits di atas, Imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut: 

 

  قال العلماء : وطريق الجمع بينها أن النهي محمول على المجازفة في المدح ، والزيادة في الأوصاف ، أو على من يخاف عليه فتنة من إعجاب ونحوه إذا سمع المدح. وأما من لا يخاف عليه ذلك لكمال تقواه ، ورسوخ عقله ومعرفته ، فلا نهي في مدحه في وجهه إذا لم يكن فيه مجازفة ، بل إن كان يحصل بذلك مصلحة كنشطه للخير ، والازدياد منه ، أو الدوام عليه ، أو الاقتداء به ، كان مستحبا . والله أعلم

 

Artinya: “Para ulama mengatakan, cara untuk mengompromikan hadits-hadits seperti itu adalah (dengan memahami) larangan itu berlaku jika mengandung risiko atau bahaya bagi orang yang dipuji, berlebihan dari kenyataannya, atau pujian itu ditujukan kepada orang yang dikhawatirkan tertimpa fitnah berupa ujub dan semacamnya ketika mendengar pujian itu. Adapun orang yang tidak dikhawatirkan akan mengalami hal seperti itu bahkan akan termotivasi untuk menyempurnakan ketakwaannya, meneguhkan akal dan pengetahuannya, maka tidak ada larangan memujinya di hadapan orang itu dengan catatan pujian itu bukannya membahayakannya, tetapi malahan membuahkan kemaslahatan seperti timbulnya kebaikan dan peningkatannya, atau kebaikan yang terus menerus, atau menumbuhkan keteladanan, maka pujian seperti itu dianjurkan." (Lihat Imam an-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, [Muassasah Qurthubah, 1994]), Cetakan 2, Juz 18, hal. 170.   


Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa memberikan pujian kepada orang lain di hadapan orang yang dipuji adalah boleh dengan syarat-syarat sebagai berikut:   


Pertama, pujian tidak berpotensi menimbulkan dampak negatif kepada orang yang dipuji. Sekiranya pujian akan menimbulkan dampak negatif bagi orang yang dipuji disebabkan timbul rasa riya’ sehingga menghilangkan keikhlasannya dalam berbuat kebaikan, maka pujian seperti ini sebaiknya tidak dilakukan.   


Kedua, pujian bersifat faktual. Artinya pujian tidak boleh dilebih-lebihkan sehingga menjadi kebohongan dengan maksud tertentu seperti mengangkat citra orang yang dipuji yang sebenarnya buruk demi membantu meraih ambisinya.  


Ketiga, pujian kepada orang yang suka menyombongkan diri atau merasa kagum pada dirinya sendiri yang disebut ujub sebaiknya tidak dilakukan. Alasannnya, puijian seperti ini bisa membuatnya semakin sambong ataupun ujub.   


Keempat, pujian akan memotivasi orang yang dipuji menjadi lebih baik, seperti dalam masalah ketakwaan kepada Allah, rasa percaya diri, atau dalam hal prestasi belajar. Teori pendidikan menguatkan bahwa seorang anak akan termotivasi untuk menjadi lebih baik, lebih percaya diri dan berkurang kenakalannya bukan dengan caci-maki tetapi dengan pujian-pujian.   


Setidaknya keempat syarat di atas perlu diketahui dan dipahami oleh siapa saja termasuk para orang tua dan guru yang akan memberikan pujian di depan anak atau siswa yang dipuji. Intinya, memuji seseorang di depan orang yang dipuji diperbolehkan selama pujian itu mendatangkan maslahat dan bukannya mudarat bagi orang yang dipuji.  

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta


Sumber: Jangan Asal Memuji orang Lain di hadapannya!


Keislaman Terbaru