Taushiyah

Katib Syuriyah PBNU: Jangan Jadi Anjing dalam Menjalani Kehidupan

Rabu, 25 Juni 2025 | 11:00 WIB

Katib Syuriyah PBNU: Jangan Jadi Anjing dalam Menjalani Kehidupan

KH Faiz Syukron Ma’mun hadir sebagai penceramah utama dalam Haflah Attasyakur Lil Ikhtitam ke-12 Pondok Pesantren An Nida’ Selomerto, Wonosobo, Ahad malam (22/6/2025).

Wonosobo, NU Online Jateng  

Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Faiz Syukron Ma’mun hadir sebagai penceramah utama dalam Haflah Attasyakur Lil Ikhtitam ke-12 Pondok Pesantren An Nida’ Selomerto, Wonosobo, Ahad malam (22/6/2025). Dalam tausiyahnya, ia mengajak hadirin untuk berhati-hati dalam menentukan arah hidup dan tidak terjebak pada hal-hal lahiriah yang bersifat sementara.


Dengan menggunakan analogi kehidupan antara anjing dan kambing, Gus Faiz sapaan akrabnya mengulas pesan spiritual yang mendalam. 


“Secara biologis, anjing memiliki lebih banyak anak setiap kali melahirkan, sedangkan kambing lebih sedikit. Tapi di dunia ini lebih banyak mana populasi antara anjing dan kambing ?” tanya Kiai Faiz pada hadirin.


Hadirin pun menjawab, lebih banyak anjing. Karena setiap kali beranak atau melahirkan, anjing bisa sampai dengan 6 ekor anak sedangkan kambing hanya satu atau maksimal dua ekor saja. 


Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta tersebut juga menukil kisah Sufi besar Irak, Ibrahim bin Adham, yang pernah diminta mendoakan muridnya agar berhasil dalam urusan dunia. Dalam kisah itu, dijelaskan bahwa ada tiga hal yang bisa membuat seseorang dimuliakan: nasab (keturunan), ilmu, dan penampilan.


“Dari ketiga hal ini maka anjing memilikinya. Anjing memiliki nasab mulia karena leluhurnya sudah ada di surga. Dia adalah anjing yang bersama dengan pemuda dalam kisah Ashabul Kahfi,” terangnya.


Ia menambahkan bahwa anjing dikenal cerdas, sering digunakan dalam kepolisian untuk berbagai keperluan seperti pelacakan dan pengamanan. Dari sisi fisik pun, banyak orang menyukai anjing karena penampilannya yang menarik.


“Di antara ketiga hal tersebut kambing tak memiliki itu semua. Kambing tak memiliki nasab yang bagus, kecerdasan, dan penampilan fisik yang baik. Tapi mengapa lebih berkah daripada anjing?” tanyanya.


Gus Faiz kemudian menjelaskan bahwa keberkahan terletak pada waktu yang digunakan untuk beribadah. Kambing, walaupun sederhana, justru terjaga di sepertiga malam yang penuh rahmat. Sementara anjing, meski terlihat unggul secara lahiriah, justru tidur pada waktu yang mulia tersebut.


“Berhati-hatilah dalam menentukan dan menempuh jalan hidup. Karena jika kita salah, maka nasab yang baik, kecerdasan, dan penampilan kita itu bisa musnah seketika karena tak ada keberkahan di dalamnya,” tegasnya.


Gus Faiz juga menekankan pentingnya spiritualitas dalam pendidikan. Ia mengingatkan bahwa pesantren merupakan tempat terbaik untuk menjaga tradisi keilmuan Islam, dan orang tua yang memondokkan anaknya adalah bagian dari upaya menjaga keberkahan dan arah hidup anak tersebut.


“Santri itu luar biasa. Sebanyak apa pun gelar yang diraih, tetaplah merasa menjadi santri. Karena dengan itulah tumbuh semangat untuk terus belajar, mengabdi kepada guru, dan menyebarkan manfaat bagi masyarakat,” jelasnya.


Ia juga membagikan kisah masa kecilnya yang sering mengikuti sang ayah, KH Syukron Ma’mun, berdakwah keliling Jawa. Ia mengaku banyak belajar dari sosok ayahnya yang menjadi singa podium NU.


“Menjadi pendakwah buat ayah saya bukanlah profesi apalagi memasang tarif dengan alasan apa pun. Menjadi kiai buat beliau bukan sekadar ilmu di kepala tetapi tentang keberanian menanggung harapan umat,” kenangnya haru.


Kini di usia KH Syukron Ma’mun yang telah menginjak 86 tahun, Gus Faiz tetap melanjutkan perjuangan dakwah ayahnya. Ia berharap bisa memberikan kesan baik dan maslahat bagi umat, meskipun menyadari belum sepenuhnya mampu menyamai keteladanan sang ayah.


“Mungkin saya tidak akan mampu menjadi seperti ayah dengan totalitasnya mewakafkan dirinya pada umat. Tapi, saya sadar dapat meniru sedikit petuah baik dan mengimplementasikannya,” tandasnya.