Gongcik, Kesenian Tradisional di Pati Saat Era Kolonial yang Sarat Nilai Perjuangan dan Dakwah
Jumat, 27 Juni 2025 | 13:00 WIB
Pati, NU Online Jateng
Kesenian tradisional Gongcik, yang pernah jaya di masa lampau sebagai seni bela diri dan media syiar Islam, hingga kini masih terus dilestarikan oleh masyarakat Desa Pasucen, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati. Di tengah gempuran budaya modern, warga setempat tetap menjaga eksistensi kesenian ini dengan menggelar pertunjukan lintas generasi.
Salah satu momen penting digelarnya pertunjukan Gongcik adalah menjelang bulan Muharram (Syuro) serta dalam rangka memperingati Haul Mbah Wiro Padi, tokoh penyebar Gongcik di Desa Pasucen pada tahun 1835. Pertunjukan ini melibatkan berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua, yang berasal dari Kecamatan Trangkil, Tlogowungu, Wedarijaksa, dan Margoyoso.
“Pertunjukan ini tidak hanya untuk mengenang jasa Mbah Wiro Padi, tetapi juga untuk mengenalkan kembali Gongcik kepada generasi muda. Kami ingin mereka merasa memiliki dan bangga terhadap kesenian leluhur,” ujar Ahmad Faozi, pelestari Gongcik sekaligus pengurus Lesbumi PCNU Pati, kepada NU Online Jateng. Jumat (27/6/2025)
Faozi, yang akrab disapa Ocheng, menuturkan bahwa Gongcik dahulu berfungsi sebagai sarana pembekalan masyarakat dalam menghadapi penjajah.
Agar tidak terdeteksi oleh kolonial, gerakan bela diri ini disamarkan dengan iringan alat musik tradisional seperti gong, kendang, ning nong, dan jidor. Selain itu, Gongcik juga menjadi media dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam secara halus dan budaya.
“Karena dibalut seni dan musik, penjajah tidak menyadari bahwa ini adalah latihan bela diri. Maka Gongcik berkembang pesat kala itu sebagai bentuk perlawanan kultural,” ungkapnya.
Gongcik dimainkan secara berpasangan oleh para pendekar yang mengenakan busana serba hitam ala pencak silat, lengkap dengan ikat kepala atau peci. Gerakan mereka menyerupai tarian penuh irama, namun sejatinya adalah rangkaian jurus bela diri.
Kini, di Desa Pasucen, masih terdapat puluhan orang yang aktif menekuni Gongcik. Regenerasi terus dilakukan agar kesenian ini tidak punah. Selain sebagai pertunjukan, Gongcik juga sering tampil dalam hajatan dan tradisi sedekah bumi.
“Kami juga memberi ruang kreativitas bagi generasi muda, seperti yang kami lakukan pada Selasa malam kemarin (24/6). Mereka boleh memodifikasi gerakan, selama tidak menghilangkan ruh utama Gongcik. Tujuannya agar seni ini tetap hidup dan relevan di zamannya,” imbuh Ocheng.