
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumiddin menjelaskan bahwa level manusia itu berada di antara malaikat dan hewan. Lebih mulia dari hewan dan lebih rendah dari bangsa malaikat. (Foto: NU Online)
Secara potensial, Allah swt telah menciptakan tiga makhluk; malaikat, manusia dan hewan. Ketiganya memiliki persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya, ketiganya sama-sama sebagai makhluk Allah swt. Sementara perbedaannya terletak pada potensi yang dimiliki oleh masing-masing ketiganya.
Allah SWT hanya memberikan potensi akal kepada malaikat, tidak punya nafsu. Sehingga
wajar jika malaikat sangat patuh kepada Allah swt, karena memang tidak punya
kepentingan terhadap dirinya. Sementara manusia, memiliki akal dan nafsu.
Dengan begitu, nafsu lah yang menjadi tantangan ketaatan terhadap Tuhannya.
Sedangkan
hewan, hanya memiliki nafsu, tanpa akal. Oleh karena itu, hewan tidak memiliki
beban syari’at (taklif). Karena yang menjadi tolak ukur taklif adalah akal.
Jika tidak memiliki akal, maka taklif tidak berlaku.
Berikutnya
adalah, antara malaikat dan manusia, lebih mulia siapa? Apakah malaikat yang
tidak memiliki nafsu dan mempunyai loyalitas ibadah total kepada Tuhannya. Atau
sebaliknya? Manusia lebih mulia daripada malaikat, karena memiliki potensi
nafsu dalam dirinya. Dengan nafsu itu, maka menjadi beban sekaligus tantangan
untuk menjaga loyalitas ibadah kepada Allah swt. Apakah beban itu menjadi nilai
plus bagi manusia?
Syekh
Syihabuddin al-Qastalani (w. 923 H), ulama kebangsaan Mesir bermadzhab Syafi’i,
dalam kitab Al-Mawahib al-Ladunniyah (juz 3, hal. 130-131) menjelaskan bahwa
para ulama berbeda pendapat, antara siapa yang lebih mulia. Apakah malaikat
atau manusia. Sebagian ulama berpendapat bahwa malaikatlah yang lebih mulia, sebagian
yang lain berpendapat sebaliknya.
Menurut
al-Qastalani, kelompok yang berpendapat bahwa malaikat lebih mulia daripada
manusia adalah dari kalangan Mu’tazilah, para Pakar Filsafat, dan sebagian
ulama kalangan Asya’irah. Pendapat ini dipilih oleh AL-Qadli Abi Bakar
al-Babqillani (w. 1013 M) dan Abu Abdillah al-Halimi (w. 403 H).
Ada
beberapa dasar yang menjadi landasan argumen mereka. Berikut beberapa di
antaranya.
Pertama,
malaikat adalah makhluk yang hanya berupa ruh tanpa jasad. Sehingga terhindar
dari nafsu (syahwat), amarah, dan keburukan-keburukan lainnya.
Tampaknya,
Al-Ghazali sepakat dengan poin ini. Dalam magnum opusnya, kitab Ihya ‘Ulumiddin
menjelaskan bahwa level manusia itu berada di antara malaikat dan hewan. Lebih
mulia dari hewan dan lebih rendah dari bangsa malaikat. Berikut penjelasan
Al-Ghazali,
والإنسان رتبته فوق رتبة البهائم لقدرته بنور
العقل على كسر شهوته ودون رتبة الملائكة لاستيلاء الشهوات عليه وكونه مبتلى
بمجاهدتها، فكلما انهمك في الشهوات انحط إلى أسفل السافلين والتحق بغمار البهائم،
وكلما قمع الشهوات ارتفع إلى أعلى عليين والتحق بأفق الملائكة.
Artinya,
“Level manusia itu berada di atas hewan karena dengan cahaya akal yang
dimilikinya mampu menaklukan syahwat. Akan tetapi di bawah level malaikat
karena memiliki syahwat dan diuji untuk menaklukannya.”
“Jika
ia terbuai oleh syahwatnya, levelnya akan turun setara dengan hewan.
Sebaliknya, jika mampu menghancurkan syahwatnya, makan levelnya akan naik
setinggi-tingginya bersama golongan para malaikat.” (Ihya ‘Ulumiddin, juz ,
hal. 236)
Kedua,
para nabi, sebagai level manusia tertinggi dalam strata manusia, mereka belajar
kepada para malaikat. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt. berikut,
عَلَّمَهُۥ
شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ
Artinya,
“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm [53]:
5)
Jelas,
antara orang yang mengajar, dalam hal ini malaikat, dengan yang diajar, yaitu
para nabi (manusia), lebih utama yang mengajar. Ketiga, dalam al-Quran dan
hadits, penyebutan malaikat selalu lebih dulu daripada manusia. Seperti pada
pada hadits berikut,
خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ
مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُم
Artinya,
“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, sementara jin diciptakan dari nyala api,
dan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan pada kalian semua.”
Dari
sini dapat dipahami, bahwa yang didahulukan (malaikat) berarti lebih mulia
daripada yang didahului (manusia).
Sementara
pendapat yang mengatakan manusia lebih mulia dibanding malaikat memiliki
beberapa argumen yang juga sekaligus menyanggah argumen pendapat pertama. Syekh
Syihabuddin al-Qastalani dalam kitab Al-Mawahib al-Ladunniyah (juz 3, hal.
130-131) memilih pendapat ini. Berikut beberapa landasan argumennya.
Pertama,
manusia memiliki dua potensi dalam dirinya, yaitu akal dan nafsu. Dengan nafsu
yang dimilikinya, akan memiliki nilai perjuangan lebih dalam menjalani ketaatan
kepada Allah swt. Karena nafsu adalah pintu utama masuk setan untuk menggoda
manusia.
Lain
lagi dengan malaikat yang hanya dikaruniai akal tanpa nafsu. Wajar saja jika
malaikat ibadahnya lebih loyal dibanding manusia. Sederhananya, perjuangan
ibadah manusia lebih berliku daripada malaikat. Ini menyanggah argumen poin
pertama.
Kedua,
meskipun malaikat mengajari para nabi, tetapi sejatinya bukan malaikat yang
mengajari. Melainkan Allah swt. Ini menyanggah argumen poin kedua.
Ketiga,
penyebutan malaikat lebih didahulukan daripada manusia, bukan karena prioritas;
yang didahulukan lebih mulia. Tapi karena memang malaikat lebih dahulu
diciptakan daripada manusia. Allah mendahulukan penyebutan makhluk yang lebih
dahulu diciptakan-Nya. Ini menyanggah argumen poin ketiga.
Memperkuat
pendapat kedua (manusia lebih mulia dibanding malaikat), Syekh Syihabuddin
al-Qastalani mengutip pendapat Syekh Sa’dudin al-Taftazani (w. 1390 M).
Menurutnya, dalam Al-Qur’an Allah SWT memerintahkan malaikat untuk bersujud
pada Adam sebagai bentuk penghormatan. Jelas, antara yang disujudi lebih mulia
daripada yang bersujud. Berikut redaksinya,
بالإجماع,
بل بالضرورة- و عوام بني أدم أفضل من عوام الملائكة. فالمسجود له أفضل من الساجد
Artinya,
“Sudah menjadi kesepakatan, bahkan sebuah keniscayaan, kalangan awam dari
manusia lebih mulia dari kalangan awam golongan malaikat. Manusia sebagai yang
disujudi lebih mulia daripada malaikat yang mensujudinya.” (Al-Mawahib
al-Ladunniyah, juz 3, hal. 129)
Muhammad
Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek
Cirebon
Sumber: PandanganUlama terhadap Kedudukan Manusia dan Malaikat