• logo nu online
Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra
Sabtu, 20 April 2024

Keislaman

Perbedaan Antara Ibadah yang Bid'ah dengan Ibadah yang tidak Bid’ah (2-Habis)

Perbedaan Antara Ibadah yang Bid'ah dengan Ibadah yang tidak Bid’ah (2-Habis)
Ilustrasi
Ilustrasi

Artikel ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya Perbedaan Antara Ibadah yang Bid'ah dengan Ibadah yang tidak Bid’ah (1)

 

Keempat, membaca Yasin saat tahlilan dan membaca ayat al-Qur'an ketika membuka acara. Tindakan membaca al-Qur'an itu sendiri disyariatkan dan merupakan ibadah, namun ketentuan syariat tentang ibadah ini sedikit sekali, di antaranya adalah harus berwudhu untuk menyentuhnya, harus suci dari hadats besar untuk membacanya, harus mengikuti aturan tajwid, tidak boleh dibaca di tempat atau waktu yang tak layak semisal saat buang air dan seterusnya. Semua aturan ini harus dipatuhi dan tidak boleh dimodifikasi.

 

Adapun segala hal yang tak diatur berarti bebas dilakukan, misalnya dibaca sewaktu bangun tidur, sebelum tidur, sehabis kerja, di saat menjaga toko, di waktu ada orang meninggal, di waktu memulai acara dan sebagainya. Ini semua di luar ketentuan syariat tetapi tidak juga melanggar satu pun aturan syariat. Karenanya, hal-hal semacam ini tidak masuk kategori bid'ah.

 

Kelima, membaca shalawat pada moment tertentu. Membaca shalawat adalah ibadah sehingga dianjurkan. Adapun aturan syariat mengenai ibadah ini sangat sedikit, misalnya harus mengandung kata "shalla" atau derivasinya dan harus ditujukan kepada Nabi.

 

Para ulama berbeda pendapat ketika shalawat ditujukan kepada selain Nabi dengan beberapa detail perincian. Akan tetapi, karena shalawat adalah doa, maka tak ada satu pun aturan syariat yang mengharuskan redaksi shalawat harus ma'tsur sebagaimana redaksi doa juga tak harus ma'tsur kecuali redaksi shalawat dalam tahiyyat shalat.

 

Shalawat ‘Ibrahimiyah’ itu adalah shalawat yang harus dibaca dalam shalat tetapi tak harus menjadi redaksi wajib shalawat di luar shalat. Semua umat Islam sepakat, boleh mengucap shalawat pendek di luar shalat, misalnya ‘Sallallahu 'ala Muhammad’ saja. Apabila hadits tentang perintah shalawat ‘Ibrahimiyah’ dianggap cara wajib dalam setiap bershalawat, maka redaksi pendek itupun haram dibaca.

 

Dalam prakteknya, para shahabat membuat redaksi shalawat yang beraneka ragam, demikian juga seluruh ulama pengarang kitab di pendahuluan kitabnya masing-masing membuat aneka ragam redaksi shalawat yang indah. Membuat aturan harus membaca shalawat ‘Ibrahimiyah’ saja dan melarang redaksi shalawat lain adalah sebuah tindakan bid'ah sebab menambah aturan agama.

 

Adapun soal waktu, jumlah, atau tempat tak ada aturan dari syariat yang mengatur itu. Selama tidak dibaca di saat yang tidak layak (seperti saat buang air) atau dibaca di tempat yang tidak layak (seperti tempat najis), maka membaca shalawat tidak dilarang secara syariat. Jadi tidak ada masalah jika bershalawat pada moment apapun selama merendahkan shalawat itu sendiri, misalnya saat bekerja, saat berkumpul bersama teman, saat acara pernikahan, saat acara kematian, saat memperingati apapun, apalagi saat perayaan Maulid Nabi.

 

Adapun jumlah shalawat juga tidak diatur oleh syariat harus dibaca berapa, sehingga bebas saja dibaca dengan jumlah berapapun. Demikian juga tempat bershalawat bebas di manapun selama layak sebagaimana penjelasan di atas.

 

Keenam, merayakan Maulid Nabi. Seperti dijelaskan sebelumnya, perayaan Maulid Nabi sendiri tidak ada hubungannya dengan bid'ah, sebab perayaan bukanlah ibadah. Perayaan adalah wujud kegembiraan, bukan wujud taqarrub kepada Allah. Ia akan bernilai ibadah ketika diisi dengan ibadah dan tak bernilai ibadah ketika diisi hal lain. Ia tak masalah secara syariat bila tak melanggar satupun aturan syariat dan akan bermasalah secara syariat jika melanggar aturan syariat, misalnya ada percampuran lelaki dan perempuan.

 

Apabila konten ibadah dalam perayaan maulid dilakukan secara benar tanpa ada pelanggaran syariat, konten tersebut bukan masuk kategori bid'ah walapun judul acaranya sendiri tidak dikenal di masa Nabi. Hal ini karena yang  masuk kategori ibadah hanya kontennya bukan judul acaranya. Bungkus acara yang bernama ‘Perayaan Maulid Nabi’ itu sendiri bisa dicari dalilnya dari dalil umum seperti berpuasanya Nabi di hari Senin atau dari maslahah mursalah serta 'urf.

 

Penjelasan di atas bisa dikiaskan sendiri untuk hal-hal yang lain. Caranya tinggal melihat apakah ada dalilnya secara umum dan apakah ada unsur pertentangan dengan aturan yang telah ada sebelumnya. Aturan yang telah ada ini harus ditaati dan tidak boleh dimodifikasi. Jangan sampai menambah aturan ataupun menguranginya. Jangan menyatakan ini wajib, ini sunnah, ini makruh atau ini haram kecuali ada dalil yang menyatakan demikian.

 

Adapun ketiadaan dalil tekstual dari Nabi, sama sekali bukanlah dalil mandiri, karena ada hal yang tidak mempunyai dalil tekstual dari Nabi, tapi mempunyai dalil secara umum dari metode ijtihad yang diakui para ulama, bahkan dalam soal ibadah sekali pun.

 

Ada sebagian orang yang malah sangat sederhana dan praktis meskipun kurang akurat dalam melihat obyek bid’ah. Sebagian orang ketika membahas tentang bid'ah, selalu mengacu pada shalat. Apabila kita ikut larut memakai shalat sebagai standar acuan soal bid'ah, maka prakteknya adalah sebagai berikut:

 

Pertama, Apabila ada praktik melanggar aturan shalat yang telah ada sebelumnya, maka hal tersebut masuk kategori bid'ah. Misalnya, rakaat shalat Subuh ditambah jadi tiga, ruku’ dua kali, atau shalat jenazah dengan ditambahi ruku’ dan sujud.

 

Kedua, Apabila terdapat praktik tidak melanggar aturan shalat yang telah ada sebelumnya, maka bukan bid'ah meskipun praktek itu tidak ada di masa Nabi dan sahabat. Misalnya, shalat pakai baju koko, shalat di atas pesawat, shalat pakai microphone dan sebagainya. Praktek tersebut semua bukan masuk pada bid'ah walaupun tak ada di masa Nabi sehingga otomatis tidak pernah dijelaskan oleh Nabi, belum pernah dilakukan Nabi dan tidak pernah mendapat pengakuan Nabi. Jangan sampai ketiadaan dalil tekstual tentang ini lantas dianggap sebagai dalil larangan.

 

Cara membedakan itu antara bid’ah dan tidak, tentu harus jeli jika dibedakan mana yang manabrak aturan yang ada dan yang tidak. Jangan sampai segala yang tidak ada landasan tekstualnya dari hadits, kemudian digebyah-uyah sebagai bid'ah! Jangan sampai semua praktik yang tidak ada di masa lalu, lalu disamakan dengan menambah rakaat shalat! Ini mengajak bodoh namanya.

 

Namun menggunakan shalat sebagai acuan bid'ah tidaknya suatu hal tidak selalu akurat sebab tidak semua tindakan baru mempunyai karakteristik seperti shalat. Dzikir, doa, shalawat, dan lain-lain adalah ibadah tetapi karakteristiknya beda dengan shalat. Demikian juga hal non-ibadah yang bernilai pahala seperti mencari nafkah, menyebar ilmu, membantu orang lain dan semacamnya sangat berbeda karakteristiknya dengan shalat sehingga tak bisa dikiaskan dengan shalat. Yang akurat adalah menggunakan dua parameter seperti disebut sebelumnya.

 

Untuk masyarakat umum, patokan praktis penjelasan di atas sudah cukup dan aplikatif. Namun sebagian orang yang terpelajar mungkin ada yang merasa rancu ketika menemukan tokoh yang dianggap ahli ilmu membuat kaidah tidak akurat seperti لا قياس في العبادات. Ini kaidah yang tidak akurat sebab qiyas dipakai juga dalam ibadah. Yang benar adalah لا قياس في التعبديات. Bahasan ini agak panjang, Insya Allah saya tulis tersendiri saja ketika Allah sudah memudahkan.

Semoga bermanfaat.

 

Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengurus Wilayah LBM Jawa Timur


Keislaman Terbaru