Regional

Ketua LTN PCNU Wonosobo Raih Gelar Guru Besar Bidang Psikologi Pendidikan di Unsiq Jateng

Rabu, 20 Agustus 2025 | 08:05 WIB

Ketua LTN PCNU Wonosobo Raih Gelar Guru Besar Bidang Psikologi Pendidikan di Unsiq Jateng

Wakil Rektor I Unsiq Jateng di Wonosobo, Prof Dr Sri Haryanto, MPd I saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Psikologi Pendidikan. (Foto: Muharno Zarka/NU Online Jateng)

Wonosobo, NU Online Jateng 

Ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Wonosobo yang juga Wakil Rektor I Universitas Sains Alquran (Unsiq) Jawa Tengah, Sri Haryanto, meraih gelar Guru Besar atau Profesor dalam bidang kepakaran Psikologi Pendidikan. 

 

Gelar Profesor dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) RI untuk Sri Haryanto diberikan pada 1 Juni 2025 lalu. 

 

Sedangkan pengukuhan gelar guru besar baru dilakukan pada Selasa (19/8/2025) di Gedung Pascasarjana Unsiq Jateng oleh Senat Universitas dan Rektor Unsiq, H Z Sukawi. 

 

Penganugerahan gelar Profesor kepada Sri Haryanto, itu diraih karena dia berhasil menemukan pemikiran "Kepemimpinan Akademik Berbasis Psiko-Spiritual". Pemikiran tersebut mengandaikan penyatuan akal, hati, jiwa dan roh dalam tranformasi kepemimpinan pendidikan. 

 

Menurutnya, dunia pendidikan saat ini tengah menghadapi paradoks yang serius. Di tengah gemerlap kemajuan teknologi, masyarakat justru menyaksikan meluasnya degradasi moral, kekeringan spiritual dan keterasingan makna dalam ranah pendidikan.

 

"Fenomena digitalisasi, globalisasi dan persaingan yang semakin ketat, telah menggeser fokus pendidikan menjadi aktivitas yang teknokratis. Akibatnya? dimensi spiritual pendidik dan peserta didik kian terabaikan," katanya. 

 

Pendidikan, lanjutnya, dinilai tidak lagi mampu menjalankan peran sejatinya sebagai jalan memanusiakan manusia. Pendidikan kehilangan ruhnya. Kehilangan esensi sebagai proses pembentukan karakter dan penanaman makna.

 

"Guru dan dosen mengalami kelelahan psikologis yang mendalam. Terjebak dalam tekanan administratif yang kering dari nilai pengabdian. Peserta didik semakin terasing dari makna sejati proses pembelajaran," papar dia.

 

Lingkungan akademik, cetus Prof Sri, menjadi ramai oleh prosedur, namun hampa dari spiritualitas. Infrastruktur kampus megah berdiri, namun seringkali kehilangan nurani. Kehilangan keteladanan, kehangatan dan relasi kemanusiaan.

 

"Bahkan, kepemimpinan di dunia pendidikan juga mengalami krisis yang tidak kalah serius. Banyak pemimpin hadir dalam struktur kelembagaan, namun absen dalam memberi makna," ungkap akademisi yang juga jadi Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Wonosobo itu. 

 

Psiko-Spiritual

Dikatakan Prof Sri, banyak pimpinan pendidikan mahir dalam manajerial, namun mengalami fenomena yang saya sebut sebagai "leadership without soul" atau kepemimpinan tanpa jiwa. Kepemimpinan yang gagal menjadi penuntun spiritual, pemakna nilai dan teladan moral.

 

"Dalam konteks krisis multidimensional ini, spiritualitas bukan lagi sekadar pelengkap. Ia adalah kebutuhan mendesak. Spiritualitas adalah medium pemulihan yang mempersatukan rasio dan nilai, prosedur dan makna serta otoritas dan keteladanan," gagasnya.

 

Berdasarkan kesadaran tersebut, mantan aktifis PMII UIN Walisongo Semarang itu, memperkenalkan paradigma "Kepemimpinan Akademik Berbasis Psiko-Spiritual". Sebuah paradigma yang memadukan akal, hati, jiwa dan ruh dalam setiap kebijakan dan interaksi pendidikan.

 

"Melalui paradigma ini, bangunan pendidikan yang mencerahkan memerlukan pemimpin yang berjiwa bisa dilakukan. Pemimpin yang mampu menguatkan integritas moral, menggerakkan nalar kritis dan menyentuh hati komunitas akademik dengan kasih dan keteladanan," tandasnya.

 

Paradigma kepemimpinan psiko-spiritual, menurut Prof Sri, dihadirkan sebagai pendekatan transformatif. Pendekatan yang mengintegrasikan psikologi pendidikan dengan nilai-nilai spiritual.

 

"Secara historis, psikologi pendidikan telah mengalami evolusi paradigmatik yang signifikan. Dari paradigma behaviorisme, kognitivisme, humanisme, hingga psikologi transpersonal yang menempatkan kesadaran spiritual sebagai inti pertumbuhan manusia," tutur dia.

 

Setiap paradigma, paparnya, memberikan kontribusi penting. Namun, sekaligus menyisakan kekosongan. Kekosongan dalam ketiadaan integrasi dimensi spiritual dalam praktik pendidikan.

 

"Integrasi psikologi pendidikan dengan kesadaran spiritual ini menjadi pijakan ilmiah sekaligus batiniah. Pijakan bagi pembangunan gaya kepemimpinan yang lebih memanusiakan, membimbing dan menyemai makna," lontarnya.

 

Secara filosofis, kata mantan Dekan FITK Unsiq, pendekatan ini berdiri kokoh pada tiga pilar utama. Pertama, pemahaman utuh tentang manusia sebagai makhluk spiritual dan rasional yang multidimensional. 

 

"Kedua, epistemologi pendidikan yang bersifat integratif. Menyatukan akal, rasa, dan wahyu dan ketiga, spiritualitas sebagai inti ruhani dalam proses pengambilan keputusan dan relasi kepemimpinan," pungkasnya.