Menghidupkan Tradisi, Menyongsong Masa Depan: Refleksi Pesantren An-Nawawi Purworejo
Jumat, 4 Juli 2025 | 10:00 WIB
Purworejo, NU Online Jateng
Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Kabupaten Purworejo, merupakan salah satu pesantren salaf tertua di Jawa Tengah. Didirikan oleh KH Zarkasyi pada tahun 1870, pondok ini telah menapaki perjalanan panjang lebih dari satu setengah abad, mengakar kuat dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah, dan kini berkembang menjadi pusat pendidikan Islam yang tetap berpijak pada nilai-nilai salafiyah.
Sejak awal berdirinya, Pondok An-Nawawi telah mengalami estafet kepemimpinan yang berjalan secara turun-temurun. Dari KH Zarkasyi, kepemimpinan diteruskan oleh KH Shiddiq, kemudian KH Nawawi, dan kini oleh KH Achmad Chalwani Nawawi. Di bawah kepemimpinan KH Chalwani, pesantren mengalami kemajuan pesat dan dikenal luas, baik secara regional maupun nasional.
Meski mengalami perkembangan, nilai-nilai salafiyah tetap dijaga. KH Chalwani dikenal sebagai ulama kharismatik yang tidak hanya fokus pada pendidikan santri, tetapi juga aktif dalam dakwah, organisasi keislaman, dan forum kebangsaan.
Pendidikan Salafiyah: Kajian Kitab Kuning dan Ibadah Rutin
Sebagai pondok salaf, An-Nawawi menjadikan penguatan ilmu-ilmu keislaman sebagai pusat pendidikan. Sistem pembelajaran utama masih menggunakan metode sorogan dan bandongan—dua metode tradisional yang menekankan interaksi langsung antara guru dan santri.
Kitab-kitab yang dikaji mencakup bidang fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, tauhid, dan tasawuf. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab, sesuai dengan teks kitab kuning yang menjadi rujukan utama.
Pembelajaran berlangsung dari pagi hingga malam, dilengkapi dengan kegiatan ibadah harian yang disiplin seperti shalat berjamaah lima waktu, tadarus Al-Qur’an, dan dzikir bersama.
Tradisi ini tidak hanya melatih santri dalam aspek keilmuan, tetapi juga membentuk karakter spiritual dan sosial mereka. Pola hidup sederhana dan penuh kedisiplinan menjadi warna khas kehidupan pondok.
Seiring tuntutan zaman, pesantren An-Nawawi juga menyelenggarakan pendidikan formal di bawah naungan yayasan. Di antaranya Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), dan Institut Agama Islam An-Nawawi (IAIA). Ketiga lembaga ini telah terakreditasi dan menggunakan kurikulum merdeka sebagai bentuk penyesuaian dengan sistem nasional.
Melalui kombinasi antara pendidikan salafiyah dan pendidikan formal, santri didorong untuk menjadi pribadi yang utuh: menguasai ilmu agama secara mendalam dan mampu menjawab tantangan dunia modern.
Pendidikan formal ini juga membuka akses lebih luas bagi santri untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dalam maupun luar negeri, bahkan berkontribusi di berbagai bidang, baik dakwah, pendidikan, sosial, maupun pemerintahan.
Masjid Shidieq Zarkasyi: Dandang Simbol Keberkahan
Salah satu ikon yang melekat dengan Pondok An-Nawawi adalah Masjid Shidieq Zarkasyi. Masjid ini tidak hanya menjadi pusat ibadah para santri, tetapi juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat sekitar untuk kegiatan keagamaan. Keunikan masjid ini terletak pada bentuk kubahnya yang menyerupai dandang (alat masak tradisional Jawa).
Bentuk kubah ini bukan sekadar elemen arsitektur, melainkan mengandung makna filosofis mendalam. Menurut cerita yang diwariskan secara lisan, KH Zarkasyi membangun masjid dengan niat bahwa siapa pun yang datang ke Berjan akan merasakan wareg kabeh (kenyang semuanya) baik secara jasmani maupun rohani.

Kubah dandang menjadi simbol keterbukaan, kemurahan hati, dan nilai-nilai kedermawanan yang dipegang teguh oleh pesantren. Ia menggambarkan bahwa masjid bukan hanya tempat untuk ritual ibadah, tetapi juga sebagai pusat keberkahan, pengayoman sosial, dan semangat gotong royong.
Menghidupkan tradisi bukan berarti menolak kemajuan. Pesantren An-Nawawi menunjukkan bahwa warisan ulama salaf dapat dirawat dan ditransformasikan untuk menjawab tantangan zaman. Pendidikan yang ditawarkan pondok ini tidak hanya mencetak ulama yang alim, tetapi juga kader-kader bangsa yang tangguh dan berakhlak.