Home Warta Nasional Keislaman Regional Opini Kiai NU Menjawab Dinamika Taushiyah Obituari Fragmen Tokoh Sosok Mitra

Opini

Menyoal Larangan Berjabat Tangan di Masa Pandemi Covid-19

Cara bersalaman saat pandemi Covid-19 dicontohkan oleh Ketua Umum PP GP Ansor yang juga Menteri Agama RI Gus Yaqut (kanan) (Foto: Dok NU Online Jateng)

Pandemi Covid-19 yang mewabah di bumi Indonesia sejak tahun 2020 kemarin hingga saat ini masih terus menimpa warga Indonesia. Korban terus berjatuhan, bahkan hingga saat ini rumah sakit banyak yang menolak pasien Covid-19 karena keterbatasan sarana dan prasarana.

 

Berbagai ajakan hingga larangan pun dilakukan pemerintah selaku pemangku kebijakan. Antara lain dilarang bersentuhan dengan tidak melakukan salaman / jabat tangan menyentuh tangan, hingga menutup tempat ibadah untuk sementara waktu. Bahkan Kementerian Agama sudah mengeluarkan edaran tentang petunjuk bagaimana melaksanakan ibadah shalat Idul Adha dan penyembelihan hewan kurban.

 

Dilarangnya bersalaman ditakutkan karena tersebarnya virus lewat salaman. Dasar tersebut mungkin sebagai ikhtiar, namun kita jangan lupa bahwa kita mempunyai dzat yang maha mengetahui, maha melindungi,maha menyembuhkan ,dan maha segalanya, Allah Azza Wajalla.

 

Rasulullah SAW bersabda Hadits Bara' Ibn Azib RA

 

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ، فَيَتَصَافَحَانِ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا، قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

 

Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah."

 

Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad (sangat ditekankan).

 

Hal yang penting yang terkandung dalam hadits:

  1. Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih dan inilah arti 'berjabat tangan' secara bahasa. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
  2. Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh syaikh al-Albani. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu.
  3. Berjabat tangan adalah ibadah yang disyariatkan ketika bertemu dan berpisah. Maka melakukannya di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi. Bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-Izz bin Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain.
  4. Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat lima waktu, pen) maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu dan bukan karena shalat.
  5. Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: (a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasulullah, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru. (b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini. (c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas.

 

Ketika kita mempelajari hadits Nabi Muhammad SAW, tentu pada saat tertentu dan pada tingkatan tertentu kita akan diperkenalkan dengan suatu kelompok
yang dianggap inkar terhadap sunnah.  Kenapa demikian? Jawabannya tentu sangat bervariatif, tetapi yang jelas ialah bahwa mengetahui kelompok inkar sunnah itu sangat diperlukan agar kita tidak terkejut apabila suatu waktu menemukan dan mengetahu kelompok ini.  

 

Paling tidak kita harus mengetahui apa alasan mereka menolak sunnah sebagai  pedoman utama disamping Al-Qur'an dan tentu saja  bagaimana para ulama menyikapi hal tersebut dan juga argumentasi para ulama dalam menghadapi persoalan tersebut.

 

Harapannya tentu kita yang  mengkaji sunnah atau hadits Nabi ini dapat lebih fokus dan yakin. Karena sedang mengkaji sesuatu yang sangat bermanfaat, tidak saja bagi diri, tetapi begi umat secara keseluruhan. Tetapi kalau kelompok ini tidak kita ketahui dan kemudian pada saat tertentu kita di hadapkan kepada kenyataan tentang inkar sunnah tersebut, sangat boleh jadi kita akan kuwalahan menghadapinya dan mungkin juga kita akan menjadi lemah, disebabkan penguasaan kita terhadap sunnah belum seberapa.  

 

Akibat lebih jauhnya ialah kita akan terpengaruh dengan argumentasi mereka dan kemudian menghentikan amalan-amalan tentang sunnah. Kalau ini yang terjadi, maka kita akan sangat rugi dan menyesal dikemudian hari.

 

Dari semua pemaparan di atas dapat kita lihat betapa pentingnya literasi agama bagi kita untuk bekal keselamatan dunia akhirat.

 

Apa yang kita lakukan dalam kurun waktu sekarang menghindari salaman dengan bertempelan tangan semata-mata sebagai upaya ikhtiar untuk tidak menularkan atau ditulari virus Covid-19 yang kita belum tahu kapan akan bisa berhenti atau dihentikan. Wallahu a'lam bissawab

 


Khaibin, mahasiswa Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung tinggal di Keblukan, Kaloran, Temanggung

Editor: M Ngisom Al-Barony

Artikel Terkait