Kajian LBM PCNU Kendal: Hukum Bon Petani Kepada Tengkulak
Rabu, 6 Agustus 2025 | 10:00 WIB

Rais Syuriyah PCNU Kendal, KH Masykur Amin saat menjadi Tim Mushahih Bahtsul Masail di pesantren Al Musyaffa, Kampir Ngampel. (Foto: AISNU)
Kendal, NU Online Jateng
Baru-baru ini pondok pesantren Al Musyafa’ Ngampel menjadi pusat perhatian para kiai, santri, dan pegiat pesantren se-Kabupaten Kendal dalam gelaran Halaqah Pondok Pesantren. Mengangkat tema “Revitalisasi Nilai Pondok Pesantren sebagai Benteng Moral di Era Digital”, forum ini dirancang sebagai ruang konsolidasi antar pesantren dan media edukasi yang memperkuat kontribusi pesantren dalam menjawab tantangan zaman.
Halaqah ini terbagi ke dalam beberapa komisi strategis, yaitu Komisi Bahtsul Masail, Komisi Pondok Putri, dan Komisi Media Pondok. Masing-masing merumuskan langkah-langkah aktual untuk menjaga eksistensi dan kontribusi pesantren dalam membangun peradaban yang bermartabat.
Salah satu pembahasan menarik dan kontekstual muncul dari Komisi Bahtsul Masail, yang difasilitasi oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kendal bekerjasama dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PCNU Kendal. Isu yang diangkat kali ini menyentuh langsung problematika masyarakat bawah, khususnya petani tembakau, dengan tema "Bon, Bantuan yang Merepotkan".
Melalui sambungan telepon kepada NU Online Jateng, Selasa (5/8/2025), Ketua LBM PCNU Kendal, M Shofiyullah Zuhri, menyampaikan bahwa diskusi ini berangkat dari kegelisahan petani yang kerap terikat pada sistem bon oleh tengkulak.
Deskripsi Masalah
Dalam praktik budidaya tembakau, hubungan antara petani dan tengkulak kerap membentuk sebuah pola kerja sama tidak tertulis. Salah satunya adalah praktik pemberian bon oleh tengkulak kepada petani, yang difungsikan sebagai tambahan modal untuk biaya produksi. Namun di balik bantuan tersebut, terdapat kesepakatan—baik tersirat maupun tersurat—bahwa petani nantinya harus menjual hasil panennya kepada tengkulak yang telah memberi bon.
Masalahnya, kesepakatan tersebut sering kali tidak diiringi dengan kejelasan harga. Penentuan harga tembakau biasanya baru dibicarakan setelah panen selesai dan tembakau siap jual.
Di sinilah kemudian muncul berbagai dilema dan problematika yang dialami oleh petani, antara lain:
a. Tekanan harga dari tengkulak
Karena merasa telah memberi bon dan menjalin kesepakatan, tak jarang tengkulak memanfaatkan posisi tersebut untuk menekan harga beli. Akibatnya, petani harus menjual hasil panennya dengan harga yang jauh di bawah nilai pasar. Meski mengetahui adanya tengkulak lain yang menawarkan harga lebih baik, petani sering merasa sungkan atau tidak enak hati untuk menjual ke pihak lain.
b. Potensi konflik saat menjual ke pembeli lain
Ketika petani memutuskan untuk menjual hasil panennya kepada pembeli yang bukan pemberi bon, hal ini bisa menimbulkan ketegangan hingga konflik terbuka, seperti adu argumen atau bahkan cekcok antar kedua belah pihak.
c. Penolakan pembelian akibat mutu tembakau
Masalah lain muncul ketika kualitas tembakau yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar atau grade yang diharapkan oleh tengkulak pemberi bon. Dalam situasi ini, tengkulak kerap enggan membeli tembakau tersebut, dan petani pun berada dalam posisi yang sulit karena tidak memiliki alternatif pembeli yang siap menampung.
Dalam forum yang diselenggarakan pada Ahad (27/7/2025) tersebut, disepakati bersama jawaban dari tiga pertanyaan yang dibahas.
1. Menurut pandangan fiqih, termasuk akad apakah uang bon tengkulak yang diberikan kepada petani? Dan bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Termasuk Akad qordlu bi syarthi al bai'
Hukum: Tafshil
a. Haram jika syarat disebutkan dalam akad
b. Tidak haram jika syarat tidak disebutkan dalam akad
2. Ketika petani telah menerima bon dari seorang tengkulak, bolehkah petani menjual kepada tengkulak yang lain?
Jawaban:
Boleh, karena tidak ada akad jual-beli yang mengikat secara sah dalam pandangan fikih, selama tidak ada syarat eksplisit dalam akad.
3. Bila praktik sebagaimana di atas tidak legal secara fiqih, adakah solusi fiqih dalam menyikapi problematika di atas, mengingat praktik demikian sudah umum terjadi bagi kalangan petani tembakau?
Jawaban:
Kesepakatan tentang penjualan hasil panen dilakukan sebelum transaksi hutang. Dan kemudian transaksi hutang dilakukan tanpa menyebutkan syarat yang telah disepakati sebelumnya.
Referensi:
الفقه الإسلامي وأدلته (٥) (٤٤٨)
والخلاصة أن القرض جائز بشرطين (۲) :
١ - ألا يجر نفعاً، فإن كانت المنفعة للدافع، منع اتفاقاً للنهي عنه، وخروجه عن باب المعروف، وإن كانت للقابض جاز، وإن كانت بينهما لم يجز لغير ضرورة واختلف في الضرورة وهي حالة السفاتج الآتية، فيجوز السلف في حال عموم الخوف على المال في الطرق، كأن يسلفه لشخص يعلم أنه يسلم معه، كما يجوز إن قام دليل على نفع المقترض فقط كمجاعة، أو كان بيع الحب المسوس الآن أحظ للمقترض لغلائه ورخص الجديد في إبانه
٢ - ألا ينضم إلى السلف عقد آخر كالبيع وغيره، لما أخرجه الخمسة عن عبد الله بن عمرو: الا يحل سلف وبيع فتح المعين مع حاشية إعانة الطالبين (٣/ ٦٥)
وأما القرض بشرط جر نفع المقرض ففاسد، الخبر كل قرض جر منفعة، فهو ربا وجبر ضعفه: مجئ معناه عن جمع من الصحابة، ومنه القرض لمن يستأجر ملكه، أي مثلا بأكثر من قيمته لاجل القرض، إن وقع ذلك شرطا، إذ هو حينئذ حرام إجماعا، وإلا كره عندنا، وحرام عند كثير من العلماء، قاله السبكي، ويجوز الاقراض بشرط الرهن أو الكفيل.
(قوله: وأما القرض بشرط إلخ) محترز قوله بلا شرط في العقد. (قوله: جر نفع لمقرض) أي وحده، أو مع مقترض - كما في النهاية - (قوله: ففاسد) قال ع ش ومعلوم أن محل الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد. أما لو توافقا على ذلك ولم يقع شرط في العقد، فلا فساد. اهـد والحكمة في الفساد أن موضوع القرض الارفاق، فإذا شرط فيه لنفسه حقا: خرج عن موضوعه فمنع صحته. (قوله: جر منفعة) أي شرط فيه جر منفعة.
إسعاد الرفيق (١٤٤/١)
(و) يحرم على المكلف أيضا أن يقرض الحائك أو غيره نحو (الأجراء) والعمال (أو يستخدمه بأقل من أجرة المثل) لذلك العمل لأجل ذلك القرض الذي أقرضه إياه ( ويسمون ذلك الرابطة لأنه يجر نفعا للمقرض (و) كذلك يحرم على المكلف (أن يقرض) نحو (الحراثين) وينظرهم إلى وقت الحصاد الزرعهم ويشرط عليهم أنهم يحصدون ذلك الزرع (ثم يبيعون عليه) أي على ذلك المقرض (طعامهم الذي حصدوه أو غيره بأرفع من السعر) الذي في البلد حينئذ ( ولو) كان ذلك الارتفاع الذي شرطه زائدا عن سعر البلد (قليلا) كأن يقول لهم أقرضكم هذه المائة إلى وقت الحصاد بشرط أن تبيعوا مني الحب مثلا بأزيد من السعر في ذلك الوقت بكيلة مثلا فإذا جاء الوقت والسعر خمسة بدرهم فيأخذ ستة به (ويسمون ذلك المقضي) وذلك لأنه يجر نفعا للمقرض فيفسد العقد م ر بخلاف ما كان فيه نفع للمقترض وحده فلا يفسد به العقد على كلام فيه فليراجع
المجموع (۱۳/ ۱۷۱)
فإن عرف الرجل عادة أنه إذا استقرض زاد في العوض، ففى إقراضه وجهان
(أحدهما) لا يجوز إقراضه إلا أن يشترط رد المثل لان المتعارف كالمشروط ولو شرط الزيادة لم يجز فكذلك إذا عرف بالعادة (والثاني) أنه يجوز وهو المذهب لان الزيادة مندوب إليها فلا يجوز أن يمنع ذلك صحة العقد، فإن شرط في العقد شرطا فاسدا بطل الشرط. وفى القرض وجهان (أحدهما) انه يبطل لما روى أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: كل قرض جر منفعة فهو ربا، ولانه إنما أقرضه بشرط ولم يسلم الشرط فوجب أن لا يسلم القرض (والثاني) أنه يصح، لان القصد منه الارفاق، فإذا زال الشرط بقى الارفاق.
Tim Mushahih: KH Masykur Amin, KH Abdul Majid dan KH Dihyah Yusuf.
Tim Perumus: Kiai Abdul Hakim, Kiai Iqbal Abil Fuad, Kiai Nuril Izza Muzakki dan Kiai M Shofiyyullah Zuhri.
Moderator: M Nadhif serta notulen yakni Imam Rosihin dan Abu Manshur.