Saat krisis melanda, berbagai persoalan di berbagai bidang bermunculan, apa yang seharusnya dilakukan? Pertanyaan tersebut barangkali muncul atas kesadaran diri dalam menilik realitas secara mendalam. Wajar saja hal itu muncul dalam benak kepala. Sebab, manusia itu pemikir yang dalam laku hidupnya mempunyai tugas untuk menggunakan akal pikirannya. Lewat kesadaran tersebut lah kemudian memungkinkan lahirnya beragam analisis yang pada akhirnya bermuara pada kerangka aksi transformasi diri berupa laku maupun tindakan terhadap realitas yang hadir di lingkungannya.
Puisi merupakan sebuah bahasa yang menyiratkan makna dalam upaya menilik realitas. Ia memberikan hamparan dan gambaran terhadap sebuah hal, bahkan mengenai sebuah dunia. Dalam nomenklatur sastra Jawa, situasi krisis seperti ini kita kembali diingatkan oleh sebuah karya dari seorang Pujangga Kasunanan Surakarta yang hidup pada abad ke-19. Dia adalah Ranggawarsita. Salah satu karyanya berupa Serat Kalatidha yang memaktub kritik akan sosial dan politik dalam sebuah zaman yang dikenal dengan “zaman edan”. Situasi zaman dimana carut-marut terjadi dalam banyak tatanan kehidupan dengan berbagai dimensinya.
Tidaklah keberatan untuk mengatakan atas apa yang dilakukan dalam penciptaan puisi dari sang penulis tersebut adalah upaya tilikan mendalam sebagai upaya membaca, memahami, dan merenungkan—entah situasi yang apa yang dialami atau bahkan situasi yang dimungkinkan akan terjadi. Dalam esainya yang berjudulkan Krtitik, Krisis, dan Tradisi: Antara Puisi “Zaman Edan” dan Kritik Modern (Bina Darma, No. 41, Juni, 1933), F. Budi Hardiman menuliskan akan keberadaan puisi tersebut memperlihatkan bahwa dalam tradisi sastra Jawa sudah lama menemui kesadaran yang sangat sensitif terhadap krisis-krisis sosial.
Hingga kemudian, Budi Hardiman mencoba menafsirkan apa yang sebenarnya hendak dilukiskan dalam puisi Zaman Edan tersebut. Tulisnya, dilukiskan di sana bahwa setiap orang bingung, mengalami disorientasi normatif, maka ngedan adalah cara beradaptasi untuk bertahan hidup. Ngedan bukan sekadar perilaku, melainkan juga semacam cara berpikir yang timbul karena desakan objektif dan desakan lingkungan lahiriah, taruhlah kondisi sosial, ekonomi, atau politik yang menjepit individu pada tuntutan self-preservation-nya.
Menafsirkan Realitas
Frasa bahwa ngedan bukan sekadar perilaku, melainkan juga cara berpikir tersebut agaknya menarik perhatian dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Dalam menafsirkan realitas, tentunya tiap individu memiliki kerangka berpikir baik berupa cakrawala pengetahuan dan pengalaman yang telah dilalui. Realitas menunjukkan dirinya setidaknya pada tiga hal: objektif, subjektif, dan intersubjektif. Ketiganya dapat panggul dengan keberadaan sastra. Yang mana, sejatinya tidak lain ia merupakan gumpalan makna baik berwujud bahasa verbal dan non-verbal.
Namun, apakah demikian keberadaan sastra sebagaimana salah satu contohnya puisi yang telah disebutkan di atas? Setidaknya pertanyaan itu berakar dari apa yang pernah diungkapkan oleh seorang sastrawan, Candra Malik. Ia melalui esainya di dalam buku Republik Ken Arok (Kepustakaan Populer Gramedia, 2016) pernah menuliskan dalam gegap-gempita media sosial, sastra cenderung dipahami sebagian orang sebagai rangkaian kata indah,yang lebih indah jika tentang cinta dan menimbulkan rindu. Jikalau sedemikian itu, tentu ada peluang lahirnya bias dalam pemakanaan akan kuasi kehidupan dalam tataran komis ini. Jangan-jangan itu yang kerap melahirkan kuldesak dalam pembacaan situasi dan bagaimana keharusan diri dalam melakukan transformasi perubahan.
Kita banyak menghabiskan waktu tentang indah dan tidaknya sederet diktum maupun teori, tapi kerap melupakan esensi yang seharusnya dilahirkan dalam mempersoalkan realitas yang ada. Yang ada kemudian adalah sebuah nirmakna yang berkepanjangan. Kita dihinggapi sebuah wabah gagap dalam membaca sebuah realitas. Pada akhirnya, akar dari ke semuanya itu membuat diri kita dengan yang lain sangat memperlebar atas namanya jarak. Terlihat dalam hal ini, akan situasi zaman yang diwarnai dengan era serba digital, teknologi super cepat, dan kemudahan dalam akses berbagai platform media sosial.
Kita hanya sibuk debat kusir, saling menyalahkan dan memakan antara satu dengan yang lain pada persoaan yang sebenarnya remeh-temeh. Kita menyaksikan akan bagaimana aktor politik yang bersikap semena-mena dalam membuat regulasi yang sejatinya memikul beban bagi banyak orang. Belum lagi cendekiawan yang tak mau menyampaikan kebenaran yang harusnya disampaikan, ketimbang kebenaran yang dilahirkan di bawah kepentingan segelintir kelompok. Bahkan, munculnya kelompok yang mengedepankan ego dan konsumtif, ketimbang menilik bahwa orang di sekitarnya sebenarnya membutuhkan kehadirannya.
Krisis Identitas
Dari ke semua hal itu, salah satu yang ditakutkan tentu saja adalah keberadaan fase bernama krisis identitas. Ini adalah masalah yang berat dihadapi oleh sebuah bangsa. Yang mana pada hakikatnya, seorang individu itu dalam sebuah bangsa mengenal dan memahami identitas yang terdiri dari prinsip, falsafah, dan nilai yang melandasi dalam sejarah perjuangan bangsa. Apakah sedemikian yang terjadi kita harus memilih: menyalahkan yang satu dengan yang lainnya? Tentu saja tidak. Tidak adil dan tidak absah kalau hanya berkelit pada hal tersebut.
Hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Realitas yang tidak dipersoalkan adalah realitas yang tidak layak dihayati. Dua kalimat tersebut pada akhirnya menjadi sebuah pancaran dalam upaya untuk menangkap makna. Pikiran dan perbuatan adalah dua hal yang seharusnya dititikfokuskan dalam sebuah kesadaran dan muara kebijaksanaan. Berpikir yang mengandaikan lahirnya daya kritis dalam membaca segala persoalan yang ada di dalam realitas baik yang berkaitan dengan diri maupun dalam tatanan ikatan antara kehidupan sosial yang lebih luas. Perbuatan berupa transformasi perubahan dalam upaya menuju kebaikan bagi bersama.
Upaya itu membutuhkan jalan refleksi yang penuh sunyi akan keberadaan diri. Persis sebagai manifestasi atas apa yang pernah diungkapkan oleh ahli astronomi dan filsuf, Karlina Supelli—pemaknaan ilmu bukan mengajarkan kepastian, namun melatih diri untuk berani menyangsikan. Dengan itu, setiap diri memiliki hasrat untuk terus menggali sejarah, memungut makna dalam kehidupan, mengutamakan sikap bijak-bestari, dan memiliki sikap yang tegas dan jelas dalam pembacaannya terhadap realitas dan transformasi apa yang keudian dilakukan. Tak lain berupa kesadaran kosmik yang memanggul tannggung jawab antara satu dengan yang lain dalam berbagai dimensi kehidupan.
Joko Priyono, Sekretaris PC LTNNU Kota Surakarta