Gaya hidup dalam rentang kehidupan masyarakat selalu berubah-ubah menyesuaikan selera yang tengah berlangsung. Gaya hidup tidak berlebihan jika dikatakan penanda masa sebab diakui dan dilakukan oleh masyarakat secara konvensional. Gaya hidup dikategorikan sebagai konvensi masyarakat karena terjadinya pengulangan (reduplikasi) dalam jangka waktu tertentu setelah sekian lama ditinggalkan sebagai ungkapan kerinduan yang dulu pernah ada.
Sebenarnya sebagai konvensi, gaya hidup hakikatnya sama dari tahun ke tahun, hanya kemasannya yang berbeda-beda. Karena inovasi cara pandang, gaya hidup kelihatannya berbeda seiring perjalanan waktu. Misalnya, komunikasi antarindividu itu sama, menjadi berbeda karena gaya hidup sebagai cara pandang untuk memenuhi kebutuhan waktu itu. Dulu telepon sekarang video call, dulu berbasis kabel sekarang nirkabel dengan jejaring elektronik untuk komunikasi.
Demikian juga, hakikat sama pada diet, hanya berbeda-beda kemasannya karena pengaruh cara pandang gaya hidup. Sebenarnya diet itu aturan pola makan agar terjaga kesehatannya dan terpantau proporsional bentuk tubuhnya. Gegara perubahan waktu, maka pola diet menjadi berbeda-beda. Memasuki masa milenial akhir-akhir ini terjadi perbedaan polanya dengan masa lalu, yang biasanya diperhadapkan dengan istilah kolonial seiring kemunculan dunia internet.
Menarik mencermati ngaji daring di media sosial yang diampu oleh intelektual muda NU, Gus Ulil panggilan akrab Ulil Abshar Abdalla, dengan kitab rujukan Ihya Ulumuddin, karya besar Hujjatul Islam Imam al-Ghazali. Perhelatan ngaji daring tersebut sudah berlangsung lama, beberapa tahun yang lalu setiap malam Jumat dan semakin intensif saat Ramadhan tiba. Tentunya, tema sufistik sangat menonjol mengingat tema tersebut merupakan arus-utama pemikiran Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, nama lengkap Al-Ghazali.
Dalam kesempatan ngaji daring dibicarakan dalam pembahasan Ihya seputar lapar, yang ternyata penting saat laku sufistik jika ingin diterapkan. Untuk istilah sekarang dapat disebutkan dengan diet untuk menyebutkan lapar. Dalam artian bahwa diet adalah melaparkan dari segala syahwat (keinginan kuat). Diet tersebut demi melatih diri meraih kebahagian, sedangkan kenikmatan berasal dari makanan dapat menggiring kepada kemalangan (Ihya Ulumuddin: 977_978).
Diet syahwat ini yang pernah Allah perintahkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dengan peringatan kelak akan menjadi penghuni kubur (Ihya Ulumuddin: 977). Diet tawaran Imam al-Ghazali memiliki dimensi jauh melampaui batas kehidupan dunia kini, menawarkan kelak kehidupan yang bersifat eskatologis. Metode dietnya untuk memudahkan seseorang menata diri mendapatkan pencerahan esoteris.
Dalam kesempatan ngaji daring tersebut dicontohkan tradisi diet ala pesantren, seperti ngrowot atau mutih yang dilakukan saat mondok oleh seorang santri. Tujuan tersebut dilakukan demi memudahkan transformasi pengetahuan yang diajarkan oleh seorang kiai. Seorang santri kala itu rela bela-belain makan nasi dengan takaran superminim agar tercapainya proses belajar di pesantren. Metode seperti itu tampaknya telah hilang, termasuk di pesantren sendiri, sebab proses pendidikan sekarang justru harus didukung asupan gizi seimbang.
Sementara itu, diet yang ditawarkan sekarang ini lebih kepada keseimbangan asupan yang dibutuhkan oleh tubuh. Berapa takaran asupan karbohidrat, protein, dan unsur lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh demi kebaikan (wellness) agar tidak mengganggu saat beraktivitas dan terlihat proposional penampilannya. Bahkan, diet sekarang menyebabkan disrupsi bahan-bahan makanan yang telah mapan dikonsumsi oleh masyarakat, seperti nasi dan gula, meskipun masih terdapat metode diet yang menyertakan asupan nasi dengan takaran tertentu.
Kualitas dan kuantitas asupan bahan makanan tampaknya menjadi unsur penting metode diet kini. Kualitas bahan diupayakan keras terhindar dari proses kimiawi dalam pengolahan dan kuantitasnya terkait persentase takarannya yang dibutuhkan tubuh. Tidak sekadar ragam dan jumlah makanan yang dibutuhkan, tetapi jenis dengan kandungan zat makanan yang diperhatikan sebagai asupan kelak diserap oleh tubuh.
Setidaknya istilah “belum makan kalau belum makan nasi” sudah tidak berelasi di era milenial. Peran nasi sudah tergantikan oleh bahan makanan lain yang setara kandungannya sebagai bahan karbohidrat. Bahkan, diet karbo, menjauhi nasi, justru salah satu metode diet milineal. Konsep Dewi Sri dalam sebuah tradisi sepertinya tengah tergugat sebagai pemahaman klasik sebuah komunitas masyarakat. Milenial telah mengubah kebiasaan yang jika boleh disebut sebagai kebiasaan kolonial.
Dari dulu sampai era digital sekarang ini hakikatnya sama diet yang dilakukan oleh masing-masing masyarakat, sama-sama menahan asupan makanan. Namun demikian, perbedaan yang dapat ditelisik bahwa sisi asketisme (zuhud) terkandung pada diet dulu melalui pemikiran Al-Ghazali, sedangkan sisi keseimbangan fisik (wellness) lebih mengemuka pada diet sekarang ini. Jika boleh diistilahkan diet kolonial untuk memperkuat sisi batiniah di tengah kondisi serba prihatin, sedangkan diet milenial lebih menjaga sisi lahiriah dari godaan ragam kuliner serba menggoyang lidah.
Khairul Fuad, peneliti sastra pada Balai Bahasa Kalbar.