Opini

Agama dan Negara

Kamis, 24 Desember 2020 | 18:00 WIB

Agama dan Negara

foto: ilustrasi (nu online)

Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas mengharapkan agar agama tidak dijadikan sebagai alat politik, bukan sebagai aspirasi, namun agama sebagai inspirasi.

 

Statemen tersebut tentu menarik perhatian, karena faktanya terdapat keragaman pemikiran mengenai hubungan antara agama dan negara. Pertama, pemikiran teokratis yang menjadikan agama sebagai dasar negara. Kedua, pemikiran sekuler yang memisahkan antara agama dan negara. Dan ketiga, pemikiran kompromistis yang mempertemukan antara agama dan negara.

 

Ketiga corak pemikiran tersebut memiliki eksistensinya masing-masing. Corak pertama seperti Republik Islam Iran dan Saudi Arabia. Bedanya Iran berbentuk republik, sedangkan Arab Saudi berbentuk kerajaan. Contoh corak pemikiran kedua seperti Turki ketika dipimpin Kemal Ataruk. Dan corak ketiga seperti Indonesia yang berbentuk republik tidak berdasarkan agama, juga bukan memisahkan antara agama dan negara, melainkan eksistensi agama menjadi sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa. Ketentuan tentang agama ini diperjelas dalam pasal 29 UUD 1945.

 

Di dalam intern umat Islam di Indonesia, terdapat kelompok Islam politik di satu pihak, dan kelompok politik Islam di pihak lain. Kelompok pertama cenderung bersifat struktural, dan kelompok kedua cenderung kultural. 

 

Kelompok struktural berusaha menjadikan Islam sebagai acuan resmi negara, seperti munculnya gerakan DI/TII, NII, Khilafah Islamiyyah dan sekarang muncul gagasan NKRI bersyariah. Sedangkan kelompok kedua cenderung menjadikan Islam sebagai pedoman hidup umat dalam perilaku keseharian secara kultural, tanpa harus diformulasikan dalam bentuk formal kenegaraan. Kelompok ini menjadikan perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sebagai acuan dalam menyikapi hubungan agama dan negara.

 

Jaringan kelompok pertama terlihat global, transnasional. Meskipun gagasan dan gerakan mereka ditolak di berbagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun sekarang mereka intensif akan menerapkan di Indonesia. 

 

Di negeri ini pun mereka mulai tertolak karena konsensus nasional Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai ideologi nasional. Dan mereka pun tidak memperoleh ruang di negeri kepulauan ini.

 

Namun keberadaan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata, karena mereka terus melakukan propaganda yang mengaitkan adanya gerakan neo komunisme di satu pihak dengan gerakan neo liberalisme di pihak lainnya. Dengan propaganda ini sepertinya mereka menghendaki adanya konflik laten antara neo komunisme dan neo liberalisme, sehingga dengan konflik mereka akan mendapatkan momentum untuk menjalankan aksinya lebih lanjut.

 

Konflik tidak akan terjadi jika pemerintah dan bangsa ini tetap komitmen pada Pancasila dan UUD 1945, serta berkosentrasi penuh dalam mencapai keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. 

 

Pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan ideologi yang berada di tengah (tawasuth) di antara dua kutub pemikiran sekuler yang saling bertentangan antara komunisme di satu pihak dan liberalisme di pihak lain. 

 

Jika Pancasila kuat maka akan menjaga keseimbangan, yang pada gilirannya akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Keberadaan agama juga diakomodasi di dalamnya. Wallahu a'lam.


 

Mohamad Muzamil, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah tinggal di Demak