KH Sya'roni Ahmadi, Kiai yang Habiskan Seluruh Hidupnya untuk Al-Qur'an
Selasa, 27 April 2021 | 20:00 WIB

Pengajian Tafsir Al-Qur'an di Masjid Menara Kudus yang diampu oleh Almarhum KH Syaroni Ahmadi. (Foto: Istimewa)
"Kang Syaroni itu..." almarhum abah (KH Masrur Chudlrin, -red) memulai cerita di suatu pagi, di ruang tamu, sewaktu saya ngelalar Al-Qur'an, "...seluruh hidupnya dihabiskan untuk Al-Qur'an. Makanya, abah pingin di antara kalian ada yang jadi penghafal Al-Qur'an."
Saya terdiam, karena ndak tahu kudu saya respon seperti apa. "Tapi menghafal Al-Qur'an itu fadhol dari Allah, kadang-kadang tidak bisa sekadar modal ikhtiar." Saya pun lega.
Menurut cerita abah, setelah
beliau boyong dari Pati (ngaji dengan Mbah Dolah Salam), beliau melanjutkan
ngaji ke Kudus dengan Mbah Arwani Amin. Bahkan ijazah thariqah abah dari Mbah
Arwani semua. Dan di sanalah abah bertemu seorang alim bernama Kiai Syaroni
Ahmadi.
"Setoran Alfatihah (tahsin?)
dengan Mbah Wan (baca: Mbah Arwani Amin) itu jarang yang lulus di bawah
sebulan. Bahkan ada yang setahun baru pindah surat lain. Kang Sya'roni itu,
menurut yang aku dengar, adalah sedikit santri yang mampu melewatinya hanya
dalam waktu tujuh hari," kata abah.
Saya makin menyimak kenangan abah
tentang orang alim yang menguasai Qiro'ah Sab'ah ini.
"Nah, kebetulan Abah cukup tiga hari saja." Saya tersenyum. Abah juga tersenyum.
"Sebab sebelumnya abah sudah
digembleng sama Mbah Dolah."
Gambaran saya tentang bagaimana
"gemblengan" Mbah Dolah dalam mengajar Alquran cukup saya wakili
dengan Abah. Harus saya akui ketika abah mengajar Al-Qur'an (bin nadzor) itu
galaknya bukan main. Saya sendiri merasa jadi orang lain sewaktu
berhadap-hadapan (talaqi) membaca Alquran di depan Abah. Seperti bukan
mengajari anaknya sendiri.
Berkahnya, ketika mondok di Kudus
dan teman-teman segothak'an pondok saya menghabiskan berbulan-bulan (bahkan
setahun lebih) hanya untuk Alfatihah, kebetulan saya hanya membutuhkan tujuh
hari saja.
Sewaktu kakakku menikah, Kiai
Sya'roni diminta abah untuk mengisi mauidhah hasanah. Dalam ceramah, beliau
berkelakar:
"Kehadiran saya di sini
memakai jas yang rapi begini tuh demi menghormati Kang Masrur. Di samping teman
saya di Kudus, sekarang Kang Masrur sudah jadi juragan emas. Ya kiai, ya sugih.
Masak pakai baju biasa? Gak sopan, doooong?!" ucap Kiai Sya'roni kepada para hadirin.
Seluruh hadirin dibuat tertawa
seketika. Lazim bagi kiai-kiai NU bikin gojlokan di majelis-majelis seperti
ini.
Saya tidak punya banyak kenangan
dengan Kiai Sya'roni kecuali pada acara tersebut, dan masyayikh pinarak di
rumah.
"Ini anak lanangku paling
kecil, Kang. Lagi mondok di Kudus. Minta barokah sampean, biar ke-futuh,"
demikian abah mendorong saya ke Kiai Sya'roni, memperkenalkan saya.
Setelah salim wolak-walik, bekas
minuman Kiai Sya'roni disodorkan abah untuk saya habiskan.
"Ngaji sing tekun, ya, Cung.
Gak usah ngalim-ngalim, sing penting manfaat. Kayak abahmu ini, lho. Gak
terobsesi punya ilmu banyak sing mutafannin, tapi sing penting manfaat. Man
tabahhara ilman wahidan tabahhara sa`iral 'ulum."
Itulah satu-satunya kenangan yang saya miliki dengan Kiai Sya'roni.
Sugeng tindhak, Yai.
Wainna insya Allah bikum lahiqun~
Rumail Abbas, pernah nyantri di Kudus