Nasional

KH Miftachul Akhyar: JATMAN Harus Jadi Penjaga Spiritualitas NU

Selasa, 8 Juli 2025 | 07:15 WIB

KH Miftachul Akhyar: JATMAN Harus Jadi Penjaga Spiritualitas NU

Rais 'Aam PBNU KH Miftachul Akhyar saat sampaikan Taujiat usai melantik pimpinan pusat Idarah Aliyyah JATMAN di Purworejo (Foto: Tim Media An-Nawawi)

Purworejo, NU Online Jateng 

Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar menegaskan bahwa keberadaan JATMAN tidak bisa dipisahkan dari sejarah dan dinamika perjuangan Nahdlatul Ulama. JATMAN bukan hanya organisasi thariqah, tapi juga wadah menjaga kedalaman spiritual Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Aswaja an-Nahdliyah.

 

Hal itu disampaikannya saat memberikan taujihat dalam acara pelantikan Idarah Aliyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) masa khidmah 2025–2030 di Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Kabupaten Purworejo, Senin (7/7/2025).

 

Kiai Miftach mengulas kembali sejarah awal berdirinya organisasi thariqah di lingkungan NU. Ia menyebut, JATMAN awalnya bernama TNU, singkatan dari Thariqah Nahdlatul Ulama, yang didirikan sekitar tahun 1957. Nama itu sempat membuat orang keliru mengira ada kaitan dengan TNI, karena bunyinya hampir serupa.

 

“Kalau tidak salah tadi Mudir ‘Ali menyebut ada yang mengira JATMAN dulu itu ada kaitannya dengan TNI. Padahal benar, dulu namanya TNU—Thariqah Nahdlatul Ulama. Baru menjelang muktamar pertamanya di Semarang, tahun 1959, namanya berubah menjadi Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah. Lalu, belakangan ditambah ‘an-nahdliyah',” jelasnya.

 

Memang ajaran Tarekat itu sendiri jauh lebih tua, lahir bersamaan dengan Islam bahkan bagian dari Islam itu sendiri. Tapi secara jam’iyyah, JATMAN baru lahir tahun 1957. Maka, tentu usianya lebih muda dari Nahdlatul Ulama yang berdiri tahun 1926, ujar pengasuh Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya ini.

 

Kiai Miftach menegaskan bahwa para ulama pendiri NU seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari juga menjalankan Tarekat. Ia bahkan menerima baiat dan talqin dari Syekh Abdul Manan.

 

“Saya sangat berharap, seluruh pengurus NU itu bertarekat. Bahkan kalau bisa semua warga NU, bukan hanya pengurus, juga bertarekat,” harapnya.

 

Namun demikian, ia mengingatkan agar keterlibatan dalam Tarekat tidak mengganggu roda organisasi. Harus ada pembagian peran yang jelas agar NU tetap berjalan baik, baik secara struktural maupun kultural.

 

Lebih jauh, ia menyebut NU sebagai miniatur Islam yang utuh, bukan hanya dari aspek akidah, tetapi juga mencakup syariat dan tasawuf. NU menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), sebuah paham akidah yang moderat dan menjaga keseimbangan antara dimensi lahir dan batin.

 

“NU itu mengikuti apa yang diperintahkan Islam dan meninggalkan apa yang dilarang Islam. Jadi kita tidak membuat pembandingan. Tugas-tugas ini hanya bisa dijalankan dengan struktur yang rapi, dan tentu spiritualitas yang kokoh,” tegasnya.

 

Kepada para pengurus JATMAN yang dilantik, Kiai Miftach mengapresiasi karena mereka adalah kiai-kiai yang seimbang antara syariat dan hakikat. Mereka adalah sosok yang menjalani tafaqquh fi al-din (pendalaman syariat) dan tasawuf (pendalaman batin/spiritual).

 

Menukil pandangan Imam al-Ghazali, ia menjelaskan betapa dalam dan agungnya ilmu tasawuf. “Imam Ghazali menyatakan, beliau pernah menyelami lautan fikih dan berhasil sampai pantainya. Beliau juga menyelami lautan filsafat dan tauhid, dan selamat. Tapi ketika menyelami tasawuf, beliau justru ‘tenggelam’. Ini menggambarkan betapa dalamnya ilmu tasawuf,” urainya.

 

Oleh karena itu, ia mengajak agar JATMAN tidak diremehkan. Sebab, substansi yang diajarkannya bukan sekadar amalan lahir, melainkan pendidikan rohani dan pembersihan hati yang sangat penting dalam membentuk pribadi yang 'benar' dan bukan sekadar 'pintar'.

 

“JATMAN mendidik hati dan spiritual. Maka akan lahir orang-orang yang tidak hanya pintar, tapi juga bener. Dan itu yang kita butuhkan dalam kehidupan beragama dan berbangsa,” pungkasnya.