Tokoh

Pitutur, Dawuh, dan Parenting ala Nyai Hj Djamilah Hamid Baidlowi

Sabtu, 21 Juni 2025 | 10:00 WIB

Pitutur, Dawuh, dan Parenting ala Nyai Hj Djamilah Hamid Baidlowi

Nyai Djamilah Hamid Baidlowi

Lasem, NU Online Jateng 

Ribuan doa dan air mata mengiringi haul 40 hari wafatnya Nyai Hajjah Djamilah Hamid Baidlowi, muballighah karismatik asal Lasem, Jawa Tengah, yang wafat pada 7 Mei 2025 M atau bertepatan 9 Dzulqa’dah 1446 H. Ia dikenal sebagai pendakwah yang istiqamah dan penuh kelembutan, suara merdunya berpadu dengan nasihat-nasihat bernas, menancap kuat di hati para jamaah.

 

Semasa hidup, Nyai Djamilah, istri dari KH Abdul Hamid Baidlowi, Pengasuh Pesantren Al-Wahdah Lasem. Dakwahnya menyentuh lapisan masyarakat dari kampung hingga kota, dari Masjid, Mushala, Majelis Taklim, hingga pengajian Muslimat dan Fatayat, terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 

Putri ke-8 dari 12 bersaudara pasangan Kiai Cholil Abdullah Umar Baureno dan Nyai Shofiatun binti Abdullah Sajad Nganjuk ini berasal dari keluarga pesantren ternama, yakni Pondok Pesantren Darul Ulum Al-Cholily Baureno Bojonegoro.

 

KH Zaki Mubarok Hamid Baidlowi, putranya menyampaikan sejumlah petuah penuh hikmah dari sang ibu saat Tahlil 40 harinya Nyai Djamilah. Ahad (15/6/2025). 

 

Berikut beberapa dawuh yang menggambarkan kedalaman nilai-nilai yang ia wariskan:

 

1. "Nek mbangun omah/panggonan karo diniati hurmat tamu lan ngaji, ben tambah berkah". Kalau membangun rumah/tempat tinggal itu juga diniati untuk menghormati tamu dan mengaji supaya tambah berkahnya

 

Nyai Djamilah selalu mengingatkan bahwa rumah bukan sekadar tempat beristirahat, tetapi sebaiknya diniatkan juga sebagai tempat kebaikan: untuk menyambut tamu, menyelenggarakan pengajian, atau tempat bertumbuhnya ilmu.

 

Dengan niat itu, setiap sudut rumah akan diberkahi, dan Allah akan membalas niat baik tersebut dengan pahala yang terus mengalir. Semakin banyak niat baik dalam satu amal, semakin besar pula ganjarannya.

 

2. "Nek ono wong sing senengane muji berlebihan maring wong liyo, biasane yo gampang maido wong liyo. Dadi wong seng biasa wae". Kalau ada orang yang suka memuji berlebihan kepada orang lain, biasanya dia juga gampang mencaci orang lain. Maka jadilah orang yang biasa-biasa saja.

 

Nyai Djamilah mewanti-wanti untuk bersikap seimbang dalam menilai orang lain. Jangan mudah memuji secara berlebihan karena orang seperti itu biasanya juga mudah menjatuhkan. Ini adalah pelajaran tentang tawazun (keseimbangan) dalam pergaulan, agar tidak mudah terseret euforia atau kecewa berlebihan. Seimbang dan sewajarnya dalam menilai, serta tetap bijak dalam berbicara. Intinya jangan gampang gumunan

 

3. "Nek ngadepi wong sing gak seneng karo awak dewe, utowo pernah nglarakno. Cara ngadepine iku dilomani. Insyaallah dadi apik kabeh". Kalau menghadapi orang yang tidak suka dengan diri kita ataupun pernah menyakiti kita, cara menghadapinya adalah dengan dilomani.

 

Ketika menghadapi orang yang tidak menyukai kita atau pernah menyakiti, ia mengajarkan untuk membalasnya dengan kebaikan. Dilomani artinya diperlakukan dengan halus dan dihormati. 

 

Nyai Djamilah percaya bahwa sikap sabar dan santun bisa melembutkan hati yang keras, dan jalan keluar akan datang dari arah yang tak terduga. Prinsip ini mencerminkan ajaran Islam yang menekankan akhlak mulia dalam berinteraksi.

 

4. "Susahe wong tuo gak koyo disusahno anak, bungahe wong tuo gak koyo dibungahno anak". Susahnya orang tua itu tidak sama seperti halnya dibuat susah anak, senangnya orang tua itu tidak seperti halnya disenangkan oleh anaknya.

 

Petuah ini menggambarkan betapa besar pengaruh anak terhadap hati orang tua. Susahnya orang tua bisa tertutupi oleh beban hidup, tetapi jika disusahkan oleh anak, luka itu jauh lebih dalam. 

 

Sebaliknya, kegembiraan orang tua paling besar adalah melihat anak-anaknya tumbuh baik dan shalih. Maka ia berpesan agar setiap anak terus berusaha menjadi sebab bahagianya orang tua, bukan sebaliknya.

 

5. "Ngaji iku manfaate gede, sak liane tambah paham agomo ugo gowo keberkahan. Gak gawe awak dewe tapi kanggo anak, bojo lan keluarga". Mengaji itu manfaatnya besar. Selain menambah pemahaman agama, mengaji juga membawa keberkahan.

 

Disini Nyai Djamilah sangat menekankan pentingnya mengaji, bukan hanya sebagai kewajiban individu, tetapi sebagai sumber keberkahan yang menyebar ke seluruh keluarga. Menurutnya, ketika seseorang mengaji dengan niat yang lurus, maka rumah tangganya akan dipenuhi rahmat dan ketenangan. Mengaji menjadi sarana perbaikan diri sekaligus tameng dari kerusakan zaman.

 

6. Tiap kali diingatkan tentang cubitan dan galaknya ibu (lebih tepatnya disiplin) dengan anak-anaknya, akan selalu dijawab: "Nek aku gak galak, kowe gak bakal iso budal madinah lan masmu ora bakal iso ngaji nang mekkah". Tegas terhadap anak juga penting, karena kebanyakan sekarang orang tua kalah tegas dengan anak. 

 

Kalau aku (Bu Nyai Djamilah, red) tidak galak, kamu tidak bakalan bisa berangkat ke Madinah dan kakakmu tidak bakalan bisa mengaji di Mekah.

 

Dalam mendidik anak, tidak ragu untuk bersikap tegas. Ia sadar bahwa cinta kadang harus dibungkus dengan disiplin. Ketegasan beliau bukan karena marah, tapi karena kasih sayang yang ingin melihat anak-anaknya berhasil. Baginya, orang tua yang terlalu lunak dan takut menyakiti anak justru sedang menjerumuskan mereka. Dan hasilnya terbukti: anak-anaknya bisa menuntut ilmu hingga tanah suci.

 

7. Saat sakit Nyai Djamilah ingin mengganti mobil lama dengan mobil merk tertentu, karena hanya mobil itu yang bisa digunakan untuk bepergian mengingat kondisi umi (Nyai Djamilah-red) yang sedang sakit. 

 

Jadi selama 2 tahun kami selalu meminjam mobil kolega yang kebetulan punya tiap kali mengantarnya perjalanan. Alasannya kepingin mobil (yang konon) elite keluaran Jepang itu adalah: "Ben ora ngrepoti wong liyo".

 

Syukurnya 1,5 tahun sebelum umi wafat kami kesampaian membelinya untuk keperluan beliau bepergian. Tilik putu di Narukan, Ploso, Magelang atau sekedar terapi pijat setiap pekan. Saking senangnya, Nyai Djamilah sempat menangis haru saat tahu mobil tersebut sudah parkir di depan halaman. Singkat kata, jangan suka mengandalkan dan merepotkan orang lain. 

 

8. "Naliko abahmu biyen (di satu titik) pernah ngalami keterbatasan gak iso tindak-tindak ceramah di tahun 90-an, aku sing diparingi Allah iso pengajian nang ndi-ndi. Sedino iso ping telu. Tapi masio ngunu aku dadi bojo wedok tetep ta'dzim karo abahmu. Kadang, sangu sing diparengno abahmu lewat astane gawe sangumu mondok biyen iku duit seko dompetku. Semonone aku njogo lan ngajeni abahmu supoyo tetep ketok gagah nang ngarepe anak-anak". 

 

Ketika dulu abahmu (KH Abdul Hamid Baidhowi, red) di satu titik pernah mengalami keterbatasan tidak bisa pergi untuk mengisi ceramah di tahun 90-an, aku yang diberikan Allah bisa mengisi pengajian di berbagai tempat. Sehari bisa tiga kali. Tapi meskipun begitu, aku tetap menjadi seorang istri yang ta’dzim kepada abahmu. Terkadang, uang saku yang diberikan oleh abahmu melalui tangannya untuk uang sakumu sewaktu dulu mondok itu uang dari dompetku. 

 

Pesan parenting dan penting untuk para istri. Sebegitunya menjaga dan menghargai suami supaya tetap terlihat gagah di depan anak-anak.

 

9. Saat menyemangati kami yang mulai malas mengaji dan mengajar, beliau akan dawuhan: "Abahmu biyen semangate ngaji luar biasa, kamare mben dino kebak kitab-kitab nang duwur kasur pating blangkrah gawe muroja'ah".

 

Abahmu (Kiai Abdul Hamid Baidlowi-red) dulu semangat mengajinya luar biasa, kamarnya setiap hari penuh dengan kitab-kitab, di atas kasur penuh kitab untuk muraja’ah.

 

Pesan untuk tetap semangat mengaji dan mengkaji ilmu kapanpun dan dimanapun tempat.

 

10. "Masio dadi pejabat abahmu biyen ora dumeh, jaman bola-bali Jakarta seringe nginep nang PHI (losmen milik persatuan haji) Kwitang yang harganya sangat murah, dahare nang kelas warteg. Pisan-pindu tuku sego padang. Transportasine bus malam, sepur kadang-kadang. Jarang banget numpak pesawat. Tapi mergo iku, iso nyelengi gawe mbangun gedung TPQ lan diniyah nang kidul pondok". 

 

Meskipun menjadi seorang pejabat, abahmu dulu ora dumeh. Jaman sering bepergian ke Jakarta, seringnya menginap di PHI (losmen milik persatuan haji) Kwitang yang harganya sangat murah, makanannya di kelas warteg. Sesekali beli nasi Padang. Transportasinya bus malam, terkadang juga kereta api. Jarang sekali naik pesawat. Tapi karena sebab itu bisa menabung untuk digunakan membangun gedung TPQ dan diniyah yang ada di selatan pondok.

 

Meskipun pernah menjadi pejabat dan tokoh besar, sang suami hidup sangat sederhana. Beliau tidak gengsi tidur di penginapan murah, makan di warteg, dan naik transportasi umum. Dari gaya hidup sederhana itulah, mereka bisa menabung dan membangun madrasah dan TPQ. Umi menekankan bahwa keberhasilan sejati datang dari kesederhanaan dan tirakat, bukan dari kemewahan dan sikap 'dumeh'.

 

Semua nasihat Nyai Djamilah mungkin terdengar sederhana, tetapi sarat makna dan keteladanan. Pembawaannya tenang namun enerjik, penuh wibawa sekaligus keibuan. 

 

Dalam sakit pun, aura karismanya tetap terpancar. Banyak orang yang merindukan sosoknya. Salah satu kisah mengharukan datang dari seorang ibu rumah tangga yang rela menempuh perjalanan ratusan kilometer hanya karena pernah menerima hadiah kerudung dari almarhumah.

 

Sosoknya mengajarkan bahwa keteladanan itu bukan perkara kata-kata indah, melainkan laku hidup yang konsisten, sederhana, dan penuh kasih.

 

Nyai Hj Djamilah Hamid Baidlowi telah berpulang, namun cahaya kebaikannya terus menyala. Pesan-pesan beliau menjadi warisan berharga, bukan hanya bagi keluarga dan santri, tetapi juga umat yang merindukan panutan sejati.

 

Lahal Fatihah

 

Kontributor: Abu Haydar, Wali Santri Al-Wahdah


Terkait