Gus Rozin: Tahkik Manuskrip Ulama Nusantara Butuh Keseriusan, Bukan Sekadar Perbaiki Titik Koma
Senin, 14 Juli 2025 | 10:00 WIB

Pemateri Seminar Nasional Syekh Abdul Hamid Kudus dan Jejak Ulama Nusantara, yang digelar di Pendopo Kabupaten Kudus.
Kudus, NU Online Jateng
Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Abdul Ghaffar Rozin menyampaikan pentingnya keseriusan dalam kerja-kerja tahkik atau verifikasi naskah klasik (makhtutat) warisan ulama Nusantara. Hal tersebut ia sampaikan dalam Seminar Nasional (Semnas) Syekh Abdul Hamid Kudus dan Jejak Ulama Nusantara, yang digelar di Pendopo Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Ahad (13/7/2025).
Dalam forum ilmiah yang menghadirkan para akademisi, peneliti, dan pegiat literasi keislaman itu, Gus Rozin menegaskan bahwa berbicara tentang turâts (warisan intelektual Islam klasik) tidak bisa dilepaskan dari pesantren.
Sebab, kata dia, pesantren merupakan pusat utama pengembangan keilmuan Islam yang selama ini memelihara dan mengkaji karya-karya para ulama terdahulu.
“Kalau kita berbicara turats, tentu tidak bisa lepas dari pesantren. Oleh karena itu, pesantren-pesantren yang punya relasi dengan ashâbul turâts (pemilik tradisi keilmuan klasik) biasanya adalah pesantren-pesantren lama,” ujarnya.
Terkait sosok Syekh Abdul Hamid Kudus yang menjadi tema utama seminar, Gus Rozin menyatakan bahwa forum ini menjadi momentum yang sangat tepat untuk menggali lebih jauh baik sisi personal maupun karya-karya yang ditulis oleh ulama besar tersebut.
Namun ia menekankan bahwa proses memastikan secara ilmiah bahwa Syekh Hamid benar-benar berasal dari Kudus memerlukan riset yang panjang dan serius.
“Memastikan bahwa Syekh Hamid itu orang Kudus atau bukan, itu butuh waktu lama. Tapi karya-karya beliau sudah ditemukan sejak lama,” tambahnya.
Lebih lanjut, Rektor Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati itu menyoroti pentingnya kerja-kerja tahkik sebagai pintu masuk untuk menggali warisan keilmuan para ulama Nusantara yang masih tersebar dan belum tergarap maksimal.
Ia menyatakan optimisme bahwa jika gerakan ini dilakukan secara serius, akan ditemukan ribuan bahkan ratusan ribu manuskrip lainnya dari berbagai daerah di Indonesia.
“Saya bahkan husnudzon, kalau kita tekuni dan seriusi, bakal menemukan ribuan bahkan ratusan ribu makhtutat yang ada di Nusantara,” tandasnya.
Gus Rozin lalu menceritakan pengalamannya saat berkhidmah di Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU). Untuk diketahui pada tahun 2013–2015, Gus Rozin menjabat Ketua RMI PWNU Jawa Tengah dan dilanjutkan sebagai Ketua RMI PBNU pada 2015–2021. Saat itu, pihaknya menginisiasi penerbitan sekitar 13 kitab karya ulama Palembang, Maluku, dan daerah lain di Nusantara.
Namun, ia mengakui proses yang dilalui belum optimal. “Kitab-kitab itu awalnya berupa naskah yang setengah mentah. Ada yang pernah ditahkik, tapi hasilnya masih belum jelas apakah sudah valid atau belum. Maka kami inisiasi ulang tahkik-nya, dengan melibatkan para intelektual muda di lingkungan pesantren,” ungkapnya.
Meskipun begitu, tantangan yang dihadapi cukup berat. Minimnya pengalaman dan ketidaksiapan metodologi membuat hasil akhir belum bisa dikategorikan sebagai tahkik yang sebenarnya.
“Yang terjadi adalah dananya untuk tahkik, tapi hasilnya editing. Harakat dibenarkan, titik koma dibenarkan, tapi tahkik yang sebenarnya belum dilakukan. Karena tahkik itu tidak sesederhana memperbaiki ejaan. Ia butuh riset komparatif, membaca teks-teks lain dari muallif yang sama, hingga memastikan bahwa teks itu benar-benar otentik,” jelasnya.
Dari total 13 kitab yang dikerjakan, lanjut Gus Rozin, kemudian ditambah menjadi 16 kitab. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar dua pertiga yang hasilnya memuaskan. Sisanya masih belum ideal karena dikejar tenggat waktu.
“Ini menjadi pelajaran penting. Bahwa tahkik itu butuh waktu, butuh sumber daya manusia yang serius, dan tentu butuh sumber dana dukungan anggaran. Karena tidak mungkin kita meminta seseorang membaca makhtutat yang mungkin kertasnya robek, dimakan rayap, dan harus dibandingkan dengan berbagai referensi, dilakukan dalam keadaan tidak fokus. Itu butuh konsentrasi penuh siang dan malam,” ungkapnya.
Ia pun menekankan bahwa tanpa upaya tahkik yang serius, warisan keilmuan ulama Nusantara hanya akan menjadi tumpukan naskah yang tidak dimanfaatkan, apalagi dijadikan bahan bahtsul masail di pesantren.
“Kalau tidak diseriusi, manuskrip-manuskrip itu akan hanya menjadi tumpukan naskah yang tidak kunjung dikaji secara tuntas. Maka penting bagi kita semua untuk menyiapkan SDM dan sistem yang mendukung kerja-kerja tahkik ini ke depan,” pungkasnya.