Fragmen

Kampung Kranji Jadi Saksi Perjuangan Kaum Santri Mempertahankan Kemerdekaan

Rabu, 14 Oktober 2020 | 05:30 WIB

Kampung Kranji Jadi Saksi Perjuangan Kaum Santri Mempertahankan Kemerdekaan

Pelajar MI Kranji berziarah ke makam para ulama dan sesepuh Kampung Kranji (dok. MI Walisongo Kranji Dua)

Di daerah Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, terdapat sebuah daerah yang bernama Kranji. Dari sejarah yang turun temurun di kalangan warga Kranji, nama Kranji konon memiliki kepanjangan dari 'pekarangan mengaji'. Memang di kampung yang juga terdapat makam waliyullah Kiai Nurul Anam tersebut, sejak dulu dikenal sebagai salah satu basis kaum santri. Hingga sekarang, predikat tersebut masih dapat dibuktikan dengan banyaknya pesantren yang ada di kampung Kranji, juga hilir mudik para pelajar yang menempuh ilmu di madrasah yang ada di sana.

 

Selain dikenal sebagai wilayah santri, Kranji juga memiliki banyak kisah menarik, yang terkait dengan perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Salah satunya, ketika terjadi Agresi Militer Belanda. Kranji, yang ditengarai menjadi tempat persembunyian para pejuang dari Hizbullah dan Sabilillah menjadi incaran serangan tentara Belanda dan Sekutu.

 

Bahkan pada peristiwa Agresi Belanda tahun 1947, Masjid Jami’ Kranji hampir saja ikut terbakar ketika kampung Kranji dibakar oleh oleh kelompok milisi bersenjata Pao An Tui yang notabene menjadi antek Belanda. Pada tahun tersebut Pao An Tui membakar + 400 rumah warga Kranji yang mengakibatkan warga Kranji mengungsi ke berbagai daerah seperti Banjarnegara, Wonosobo dan lain-lain, tetapi ada pula yang mengungsi ke kampong sekitar Kranji seperti Prawasan, Pakisputih dan lainnya, dengan alasan karena memiliki saudara yang ada di situ.

 

Masjid Jami' Kranji (dok. Nuskan Abdi)

 

Selain itu, akibat serangan tersebut, dua pemuda Kranji yaitu Jamil dan Ansor ditembak mati oleh Belanda yang kemudian oleh Pemerintah RI di kemudian hari, diberikan gelar sebagai Pahlawan Kemerdekaan. Dua Pemuda tersebut dimakamkan di Maqbaroh Kranji dekat dengan makam Mbah Nur Anam.

 

Namun, tidak semua warga Kranji ikut mengungsi. Beberapa kelompok gerilyawan yang tergabung dalam GBPK (Gabungan Badan Perjuangan Kedungwuni) di bawah pimpinan tokoh warga Kranji yang juga pengurus NU Pekalongan KH. Ichsan Dimyati (wafat tahun 1986), meneruskan perjuangan mengusir penjajah Belanda, khususnya di daerah Kedungwuni.

 

Bermarkas di desa Kebontengah yang letaknya berseberangan dengan Masjid Jami’ Kranji. Setiap malam, GBPK melakukan serangkaian gerilya di markas Belanda yang berada di Kedungwuni. Sehingga pemerintah Belanda saat itu marah besar dan melakukan serangkaian serangan pada waktu sebelum shubuh disaat warga sedang terlelap tidur. Tentara Belanda menyatroni rumah warga di Kebontengah dan membakar 96 rumah dan bahkan memberondong warga dengan peluru secara membabi buta yang mengakibatkan 96 orang warga tewas akibat serangan tersebut.

 

Dari penuturan salah satu sesepuh Kranji, Kiai Saiful Muluk, pada tahun 1948, terbentuklah pasukan Kyai Gede Atas Angin (KGAA) yang kembali dipimpin oleh KH. Ichsan Dimyati di kecamatan Kalibening, Banjarnegara. Dalam melakukan gerilya, pasukan KGAA seringkali berkumpul saat malam hari di Kranji yang saat itu menjadi puing-puing sisa kebakaran hebat tahun 1947. Belanda mengetahui hal tersebut, sehingga banyak terjadi serangan-serangan oleh mortir-mortir milik pasukan Belanda yang imbasnya di sekitar Masjid Jami’ Kranji terkena tembakan mortir.

 

Melawan Pasukan Jepang

Sebelum masa Agresi Militer Belanda atau sebelum masa kemerdekaan, penduduk Kranji juga pernah mengalami perjuangan yang tak kalah dahsyat. Peristiwanya terjadi, setelah tentara Jepang masuk dan menduduki Pekalongan sekitar tahun 1943, terjadi suatu peristiwa penangkapan 14 warga Kranji (kebanyakan dari mereka adalah tokoh ulama) dan mereka bahkan dipenjara selama 18 bulan.

 

Pasca kemerdekaan Indonesia barulah 14 orang tersebut dibebaskan dari penjara. 14 warga Kranji tersebut adalah : H. Fajari, H. Mahfudl, H. Ghozali, H. Mustofo, Kyai Sa’adi, Rachat, KH Ichsan Dimyati, Kyai Subchi, M. Isma’il, H. Tohir, H. Asy’ari, H. A. Djazuli, Wasyhar, dan Sa’il.

 

Satu nama yang mungkin luput dari penangkapan tersebut, yakni KH Duraid. Kiai Duraid merupakan salah satu tokoh sentral warga Pekalongan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

 

Sebagai salah satu ulama sepuh di desa Kranji ketika itu, ia kerap kali diminta untuk melakukan penggemblengan terhadap pemuda-pemuda dalam rangka mempertinggi kewaspadaan karena menjelang kekalahan kaum kolonialis Belanda. Kiai Duraid pula yang memimpin umat Islam khususnya pemuda dalam peristiwa pelucutan senjata tentara Jepang di markas Kem Pe Tai Pekalongan pada tanggal 3 Oktober 1945.

 

Kemudian, pada saat terjadi peristiwa Tiga Daerah yang dipimpin oleh Sarjito / Kutil, para pemuda yang mendapat gemblengan dari Kyai Duraid, ikut dikerahkan untuk menyerbu ke pusat pemberontakan tersebut di Kota Tegal di bawah komando dari KH. Ichsan Dimyati. Dalam waktu singkat, pemberontakan Tiga Daerah dapat ditumpas habis dan dapat membebaskan Komandan Resimen 17 Pekalongan H. Iskandar Idris dan para ulama yang ditahan oleh pemberontak, diantaranya adalah Kyai Muchidin Tegal.

 

Demikianlah, sekelumit perjuangan kaum santri di daerah Kranji, Kedungwuni, Pekalongan. Semoga perjuangan mereka dapat dilanjutkan oleh para penerusnya. Lahumul fatihah

 

Penulis: Nuskan Abdi, Haibani, dan tim Ansor Kranji

Editor: Ajie Najmuddin


Terkait