Keislaman
Islam yang Dibawa Rasulullah Penuh Kasih Sayang Fathoni
Cerita Nabi Muhammad yang penuh dengan sifat kasih sayang
(rahmah) di antaranya ketika terjadi peristiwa pembebasan Kota Makkah (Fathu
Makkah). Pasukan Rasulullah penuh dengan kekuatan dalam sejarah Fathu Makkah.
Hal ini dipahami betul oleh kafir Quraisy di Makkah yang saat itu di bawah
komando Abu Sufyan.
Namun, kasih sayang Nabi yang begitu tinggi membuat
peristiwa Fathu Makkah terjadi tanpa setetes pun darah yang tertumpah. Revolusi
besar tersebut bukan hanya membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan
seluruh kaum kafir untuk masuk ke dalam lindungan Nabi sehingga mereka serta
merta masuk Islam.
Dijelaskan KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah-khutbah Imam
Besar (2018), di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, ada satu peristiwa
ketika Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia
mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Kemudian Nabi meminta kepada para pimpinan
pasukannya untuk menyatakan, al-yaum yaumal marhamah (hari ini hari kasih
sayang).
Ada suatu riwayat ketika perang usai, tiba-tiba menyelinap
seorang musuh ingin memasuki wilayah kekuasaan prajurit Muslim. Usama ibn Zaid
ibn Haritsah yang dikenal sebagai Panglima Angkatan Perang Nabi yang usianya
masih muda memergoki dan mengejarnya.
Musuh tersebut terjebak di sebuah tebing dan jurang
sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Tiba-tiba saja musuh tersebut meneriakkan
dua kalimat syahadat di hadapan Usamah. Panglima Perang Nabi tersebut
terperanjat. Namun dia dan pasukannya tidak ingin terkecoh dengan strategi
musuh tersebut sehingga akhirnya Usamah tetap menghunus pedangnya dan membunuh
orang itu.
Salah seorang sahabat yang menyaksikan peristiwa tersebut
melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa Usamah sang Panglima Angkatan Perang
telah membunuh musuh yang sudah bersyahadat. Mendengar dan menanggapi laporan
tersebut, Nabi marah hingga terlihat urat di dahinya begitu jelas melintang.
Usamah dipanggil oleh Nabi Muhammad kemudian ditanya kenapa
membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjawab bahwa tindakan
musuh tersebut hanya sebuah taktik belaka. Ia membawa senjata yang
sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan Muslim. Ia dibunuh karena diduga
syahadatnya palsu.
Mendengar secara seksama alasan Usamah membunuh musuh yang
sudah bersyahadat, maka Nabi Muhammad mengeluarkan sabda: Nahnu nahkum bi
al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak
dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).
Karen Armstrong dalam Muhammad: Prophet for Our Time (2006)
mencatat, pada 10 Ramadhan 8 Hijriah (630 M), Nabi Muhammad kembali lagi
bergerak menuju Makkah. Kali ini dengan 10 ribu orang di belakangnya, hanya
untuk menemukan penduduk kota menyambutnya dengan tangan terbuka.
Setelah menerima penyerahan Makkah, Muhammad menyatakan
amnesti massal bagi sebagian besar musuh-musuhnya, termasuk orang-orang yang
telah melawannya dalam pertempuran.
Dengan hukum kesukuan yang berlaku, alih-alih kaum Quraisy
menjadi budaknya, Nabi malah menyatakan bahwa semua penduduk Makkah (termasuk
semua budak) dibebaskan. Kemudian, tidak seorang pun dipaksa masuk agama Islam.
Kala itu, semua orang Makkah juga harus mengambil sumpah
setia tidak akan berperang lagi melawan Nabi. Di antara orang Quraisy terakhir
yang mengambil sumpah itu ada Abu Sufyan dan istrinya, Hindun.
(Fathoni Ahmad)
Sumber: Islam yang Dibawa Nabi Muhammad PenuhKasih Sayang